post image
KOMENTAR
Oleh: Ahmad Arief Tarigan **

BARANGKALI banyak dari kita, khususnya generasi muda semacam saya, yang tak tahu atau belum pernah mendengar sejarah perlawanan rakyat atas penjajahan di Taneh Sunggal. Bercermin pada pengalaman saya pribadi, justru mengetahui peristiwa bersejarah itu beberapa tahun belakangan, setelah duduk di bangku perkuliahan dan aktif dalam berbagai forum diskusi. Beberapa informasi didapat dari bahan bacaan, dan secara lebih mendalam lagi, kisah perlawanan rakyat atas kesemena-menaan para penjajah itu saya dapat dari penjelasan salah seorang ahli waris Urung Sunggal Serbanyaman, yakni (Almarhum) Datuk Khairil Anwar Surbakti.  

Ketika pertama kali mengetahui tentang kisah kepahlawanan di Taneh Sunggal ini, timbul sebuah pertanyaan dalam benak saya. Apa yang membuat kisah kepahlawanan yang dahsyat ini tak tercatat secara formal, seperti di kurikulum pelajaran sejarah nasional? Apakah karena perlawanan rakyat terhadap penjajah di Taneh Sunggal kalah hebat dengan yang dilakukan di daerah lain? Saya kira jawabannya: tidak. Apalagi bila ditinjau dari latarbelakang perlawanan, ideologi perjuangan, strategi perang, komposisi personel perang, maupun lama kurun waktu perlawanan yang dilakukan. Namun, sebaiknya kita tunda dulu pembahasan soal ini sampai pada waktu yang akan datang. Untuk tahap awal akan diceritakan terlebih dahulu Perang Sunggal itu sendiri.

 Sekilas dari Perang Sunggal (1872-1895)


Dalam catatan resmi pihak Belanda, peristiwa perlawanan ini disebut dengan Batak Oorlogh (Perang Batak), sedangkan di pihak sebaliknya lebih dikenal dengan Perang Sunggal. Disebutkan Perang Sunggal tidak saja karena titik awal perlawanan bermula dari wilayah Sunggal tapi juga dikarenakan Urung Sunggal Serbanaman yang merupakan lembaga adat dan pemerintahan lokal adalah titik pusat koordinasi dan simbol dari perlawanan tersebut.

Perkembangan ekonomi kapitalisme di belahan Eropa semenjak abad ke-17 membawa pengaruh ke berbagai belahan dunia lainnya. Salah satu wilayah yang tak luput dari pengaruh itu adalah Sumatra Timur. Kualitas mutu tembakau Deli sebagai pembalut cerutu terbaik tak ayal menggoda nafsu serakah para kapitalis untuk menguasai lahan-lahan kepunyaan rakyat.

 Pihak kolonial Belanda melalui tangan para investor perkebunan tembakau mulai bertindak semena-mena dengan menyeroboti tanah rakyat. Penyerobotan ini dianggap penghinaan oleh rakyat terutama rakyat Karo yang tinggal di daerah pedusunan Deli. Anthony Reid dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra (1987) menerangkan bahwa gangguan-gangguan rakyat Karo pedusunan terhadap onderneming (perkebunan) Belanda adalah wujud dari ketidaksenangan mereka terhadap klaim sepihak Sultan Deli dan Sultan Langkat atas tanah-tanah mereka yang kemudian dikontrakkan oleh sultan-sultan itu kepada pihak investor perkebunan.

Menanggapi perkembangan yang ada, maka pada bulan Desember 1871, Datuk Badiuzzaman selaku Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta kerabat dan orang-orang dekatnya, termasuk orang-orang Karo dari pegunungan mengadakan rapat rahasia di sebuah kebun lada. Rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil Surbakti (Mahini), Datuk Jalil Surbakti, Datuk Sulong Barat Surbakti, Nabung Surbakti (Pulu Jumaraja) selaku komandan pasukan orang Karo pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai komandan Laskar Aceh, Alas dan Gayo. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan seluruh pihak yang hadir untuk menentang dan mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur dari penyerobotan pihak Belanda. Selain itu, juga disepakati bahwa seluruh pihak yang hadir untuk secara bersama-sama mengusir para penjajah.

Genderang Perang Sunggal pertama sekali ditabuh pada bulan Mei tahun 1872, yakni pada saat terjadi peristiwa tembak menembak antara Simbisa Sunggal (pasukan Sunggal) dengan pasukan Belanda di berbagai tempat. Pada peristiwa tembak menembak tanggal 17 Mei 1872 para pejuang Sunggal menewaskan dua serdadu Belanda serta melukai beberapa orang termasuk Letnan Lange (Komandan Marinir Belanda). Pada tanggal 24 Juni 1872, pasukan Datuk Sulung Barat Surbakti berhasil menghancurkan pasukan Belanda di Sapo Uruk dan Tanduk Benua.

 

Dikarenakan  perlawanan yang begitu hebat dari pejuang Sunggal, maka Pemerintah Hindia Belanda melalui Asisten Residen Riau, Locker de Bruijne, mencoba untuk menyelesaikannya melalui jalur diplomasi. Raja Urung Serbanyaman, Datuk Badiuzzaman Surbakti, beserta beberapa orang pengulu kampung Karo Dusun (kampung di sekitar Deli) lainnya dikumpulkan. Datuk Badiuzzaman Surbakti diminta secara paksa untuk memerintahkan para pejuang Sunggal menghentikan perlawanan dan pulang ke rumah masing-masing. Namun, permintaan Belanda itu ditolak mentah-mentah olehnya dan ia pun dikenakan hukuman tahanan kota.

Meskipun dikenakan status tahanan kota, Datuk Badiuzzaman Surbakti sebagai pemimpin perlawanan tidak mengenal kata menyerah. Dibantu para kerabatnya yang bertindak selaku komandan lapangan para pasukan Sunggal terus melancarkan gerilya terhadap aset perkebunan Belanda. Komunikasi antara Datuk Badiuzzaman Surbakti selaku pimpinan dengan para komandan lapangan dilakukan melalui perantaraan kurir yang menyamar sebagai perlanja sira (orang yang memikul bungkusan berisi garam). Walaupun terus dimata-matai, melalui kontak rahasia yang cukup rapi ini, pihak Belanda tak punya alasan untuk menangkap Datuk Badiuzzaman secara resmi.

Sebagaimana dalam laporan kontrolir Deems tertanggal 12 Juni 1872, pasukan Sunggal juga turut diperkuat oleh Wan Musa dari Kejuruan Sinembah dan Tengku Sulong Hebar dari Kejuruan Selesai. Di samping itu, Kejuruan Bahorok, Kejuruan Stabat Tan Mahidin juga orang-orang Karo di Langkat Hulu mendukung para pejuang Sunggal setelah mereka mengadakan rapat di Tanjung Jati. Setelah rapat itu, para pejuang itu mulai membakari bangsal-bangsal tembakau dan rumah-rumah tuan kebon Belanda. Akibatnya, produksi tembakau berhenti. Para Tuan Kebon berlarian membawa anak dan istrinya mengungsi ke Labuhan Deli. Sunggal dalam keadaan kacau balau di mata para Tuan Kebon.

Sebuah Renungan

Ada sebuah peribahasa lama yang kurang lebih berbunyi “bagai emas dalam lumpur”. Kalau saya yang menafsirkannya maka peribahasa ini memiliki dua makna. Makna pertama, nilai-nilai kebaikan yang ada tak akan pudar meski banyak noda keburukan di sekitarnya atau dengan kata lain ‘emas’ tetaplah ‘emas’ tak akan berubah jadi ‘lumpur’. Makna kedua, semestinya kita mencoba untuk menemukan ‘emas’ di dalam ‘kubangan lumpur’, dan bila menemukannya kita harus membersihkannya dari kubangan.

Bila kedua makna tersebut kita tempatkan dalam konteks Perang Sunggal (1872-1895) maka dapat dimaknai bahwa nilai kepahlawanan, persatuan, pengorbanan, dan kebulatan tekad yang ditunjukkan oleh para pejuang Sunggal tak akan sirna ditelan waktu. Sepekat apa pun usaha untuk menutupi kisah kepahlawanan itu, tak akan mampu menghilangkannya dari ingatan masyarakat banyak. Bila tiba masanya, kebenaran sejarah akan terungkap meski harus dilalui dengan perjuangan dan pengorbanan tanpa henti. Perjuangan dan pengorbanan yang semestinya menjadi tugas sejarah kaum muda hari ini. Untuk itu mari kita ingat: kebenaran adalah ‘emas’, dan sekali lagi, ‘emas tetaplah emas walau ia berkubang lumpur’. Salam.



*Hampir seluruh informasi ini (kecuali Anthony Reid) disarikan dari hasil diskusi dengan Alm. Datuk Khairil Anwar Surbakti dan buku berjudul Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti: Pejuang Penentang Penjajahan Belanda 1872-1895, (Jakarta: Sentra Jaya Utama, 2006).

** Penulis adalah Ketua Yayasan AkuAru Centre

Pemantapan Sebelum Dipentaskan Diajang Bergengsi, Mantra Bah Tuah Mendulang Dukungan dan Apresiasi

Sebelumnya

Pakat Melayu, Tegaskan Komitmen Jaga Budaya Melayu

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Budaya