post image
KOMENTAR
Dituduh pelihara begu ganjang, T Purba dan keluarganya terpaksa meninggalkan kediamannya di Desa Lehu Gontingmahe, Kecamatan Sorkam, Tapteng. Keputusan itu diambil sintua ini usai mengikuti sidang rakyat di balai desa setempat, Kamis (6/6/2013) lalu. Tujuannya, untuk menghindari amuk massa yang terprovokasi dengan isu itu.

Pada sidang rakyat yang dipimpin Kepala Desa (Kades) Lehu Masri br Hutauruk dan tokoh adat marga Situmeang, pengetua adat Maraden Manalu, tokoh agama Samruddin Sianturi, menghadirkan pihak T Purba dan ratusan warga desa.

Beberapa personel Polsek Sorkam yang dipimpin Kanitreskrim AIPTU Marudut Tindaon tampak melakukan pengawalan selama sidang itu berlangsung.

Di hadapan pemimpin sidang dan warga, sintua T Purba bersumpah atas nama Yesus Kristus dan kitab suci Alkitab, bahwa dirinya tidak pernah dan tidak benar melakukan seperti mana yang dituduhkan kepadanya (memelihara begu ganjang,red).  Tapi, warga yang sudah termakan isu, tidak percaya sumpah yang dikeluarkan T Purba. Mereka tetap menuntut keluarga T Purba agar segera meninggalkan desa. Alasan mereka, tidak mau ada korban jiwa di tengah-tengah desa.

Suasana saat sidang itu berlangsung benar-benar mencekam. Pasalnya, orang-orang yang berada di dalam ruang rapat maupun dari luar ruangan meneriakkan ''usir'' dan ''bunuh'' keluarga T Purba.

Hal itu membuat tiga personel polisi yang ada di dalam ruang rapat bersama kades, kepling dan tokoh adat berulang kali berupaya meredakan ketegangan. Demikian juga dengan dua personel polisi yang berjaga-jaga di pintu ruang rapat.

Di tengah ketegangan itu, T Purba yang sintua di salah satu gereja di Gontingmahe ini dengan tegas menyatakan bahwa dia dan keluarganya tidak terima difitnah dan tidak akan pernah meninggalkan rumah serta desa yang telah mereka tempati sejak puluhan tahun lalu.

''Saya dan keluarga tidak akan pergi dari desa ini dan siap mati untuk mempertahankan kebenaran.''

''Ini tanah lelulur saya, tanah bapak dan ibu serta tanah di mana saya lahir dan dibesarkan. Saya bahkan sudah menyumpahkan istri dan anak-anak saya, tidak akan pernah selamat kalau benar melakukan itu,” tutur T Purba yang juga berprofesi guru di Kecamatan Sorkam.''

Sayangnya, hingga akhir sidang, tak ada keputusan yang diambil. Hal ini membuat warga bertambah emosi. Ratusan warga menunggu keluarga T Purba di depan balai desa. Oleh pihak kepolisian dan tokoh-tokoh desa setempat, T Purba dan keluarganya diminta untuk tidak keluar dari balai desa.

Tak lama kemudian, salah seorang famili T Purba yang belakangan diketahui bernama M Nababan (54), masuk ke dalam balai desa. M Nababan menyarankan agar T Purba dan keluarganya menerima permintaan warga desa untuk meninggalkan rumah dan desa itu.

''Kami masih perlu dengan kalian. Kami tidak ingin kalian mati sia–sia karena ketidakbenaran oleh karena perkataan itu. Maka itu, dengarkan saran saya, mari kita tinggalkan desa ini,'' tutur M Nababan kepada T Purba yang terlihat berat untuk mengiyakannya.

M Nababan pun akhirnya menyampaikan ke tengah-tengah kerumunan warga, bahwa saudaranya tersebut bersedia meninggalkan desa. Namun warga desa tidak menerima permohonan M Nababan yang meminta agar keluarga T Purba diperkenankan berada seminggu di desa tersebut untuk berkemas-kemas. Malah warga meminta T Purba dan keluarganya segera meninggalkan desa tersebut paling lama sebelum matahari terbit (esok hari).



Lapor Polisi
Usai meninggalkan Desa Gontingmahe, keluarga T Purba yang tidak terima dengan fitnah dan pengusiran paksa warga desa terhadap keluarganya, kepada wartawan mengaku akan melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.

T Purba mengatakan, fitnah dan pengusiran warga itu sangat menyakitkan dan telah membuat mereka menderita lahir dan batin.

T Purba menceritakan, awal mula fitnah itu muncul setelah beberapa orang warga desa berangkat ke Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) untuk berdukun. Namun, di tengah-tengah keberangkatan warga, terkirim pesan singkat (SMS) ke telepon seluler T Purba dengan nada ancaman yang mengatakan bahwa T Purba dan keluarganya akan dihabisi.

''Saya sebelumnya tidak membaca SMS yang masuk ke HP saya itu. Setelah pulang mengajar, anak saya menyampaikan soal SMS itu. Kemudian saya menemui dan mempertanyakan soal SMS itu kepada keluarga orang-orang yang berangkat ke Pakkat itu,'' katanya seperti dikutip dari metro siantar.

Namun, lanjutnya, para keluarga yang didatanginya membantah akan berbuat seperti itu sembari beralasan bahwa orang–orang yang berangkat itu hanya untuk meminta ilmu penglaris dalam usaha dan penjaga tubuh.  Saat itu, T Purba memberikan nasehat agar tidak melakukan hal-hal di luar agama.

''Permasalahan SMS ini akhirnya selesai dan dibuat kesepakatan bersama, bahwa SMS gelap yang tidak bertanggung jawab dan yang telah membuat orang resah itu tidak akan pernah terulang lagi,'' ujar pria yang mengaku sintua ini.

Ironisnya, ungkap T Purba, muncul permasalahan lain. Seorang perempuan yang merasa giginya sakit lalu dibawa berobat kepada orang pintar. Saat berobat itu, perempuan tersebut menyebut-nyebut namanya (T Purba, red) yang telah melakukan guna-guna. Demikian kejadian lainnya, ketika ada seorang ibu rumah tangga yang baru beberapa hari melahirkan terjatuh di sumur.

''Kedua orang ini dalam melakukan perobatan perdukunan, membawa-bawa nama saya. Sungguh sebuah fitnah yang sangat kejam. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana yang saya sudah katakan, bahwa saya tidak pernah melakukan praktik-praktik perdukunan atau berdukun. Bahkan, saya tidak tahu menahu dengan kejadian itu. Kejadian terjatuhnya seorang ibu di sumur, saya sedang berada di Desa Tarutung Bolak mengantarkan berkas anak saya yang akan ikut pertandingan Beladiri Pordasu di Medan,'' tuturnya.

Namun yang sangat disayangkannya dari seluruh rangkaian kejadian yang berujung kepada fitnah dan pengusiran terhadap keluarganya, adanya peran salah seorang tokoh agama yang ikut-ikut menyebutkan dirinya seorang tukang guna-guna.
''Ironisnya, fitnah tokoh agama itu bukan hanya kepada saya, tapi juga kepada seorang porhanger. Porhanger itu sekarang sudah jatuh sakit,'' ungkapnya.

Sementara itu, M Nababan mengatakan, tidak adanya keputusan rapat pada pertemuan Kamis (6/6) itu benar-benar sebuah kekeliruan atau kesalahan fatal yang dapat menyebabkan kematian. Dia juga mengaku ngeri dan sangat menyayangkan minimnya tenaga aparat keamanan yang turun ke lokasi.

''Kemudian yang saya pertanyakan, di mana unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dalam permasalahan itu. Terlebih pada saat itu mereka diinformasikan akan turun mengikuti sidang rakyat itu,'' tandsnya. [ans]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Komunitas