post image
KOMENTAR
MBC. Ketua Komisi-I DPRD Simalungun, Mangapul Purba mengemukakan Undang-undang haruslah menjadi rujukan utama sebagai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan tanah, termasuk hutan, karena Undang-Undang-lah yang mengaturnya.

Pernyataan itu disampaikannya ketika memimpin RDP (rapat dengar pendapat) di Komisi-I DPRD Simalungun, Selasa (20/8/2013), membahas klaim ”tanah adat” oleh berbagai pihak mengatasnamakan ''masyarakat adat'' terhadap areal konsesi industri pulp TPL (Toba Pulp Lestari) di sektor Aeknauli, Simalungun.

Rahman Purba dari Dishut Simalungun, memastikan TPL memiliki IUPHHK-HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman) berdasarkan SK Menhut No.493/1992 tanggal 1 Juni 1992 seluas 269.060 Ha, yang kemudian diperbarui dengan SK Menhut No.58/2001 tanggal 28 Februari 2011 seluas 188.055 Ha.

Hamparannya berada di beberapa kabupaten, salah satunya Simalungun. Luas tanaman industrinya di Simalungun, berupa jenis Eucalyptus sp, sekitar 18.000 Ha. Dalam penanganan land clearing dan penanaman kembali, dibenarkan mengambil kayu alam dan rimba campuran.

Dishut telah mengambil titik kordinat ”tanah adat” yang di-klaim oleh masyarakat Nagahulambu, dan ternyata berada di areal RKT (rencana kerja tahunan) TPL dan hutan register. Usai penjelasan Dishut, Ketua Komisi langsung menyimpulkan, bahwa areal sengketa masuk RKT dan register.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen, Laksamana Adiyaksa mengatakan, persoalan hukum adat yang dipermasalahkan masyarakat harus memiliki payung hukum yang diatur dalam UU No 41 tahun 1999.

Laksamana mengungkapkan, dalam UU No 41 tahun 1999 pada pasal 67 mengakui keberadaan masyarakat hukum adat.

''Masyarakat hukum adat yang diakui negera keberadaannya dalam pasal 67 UU No 41/1999, harus memenuhi beberapa unsur, diantaranya masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); ada kelembagaan dalam bentuk perangkat pengusaha adatnya; ada wilayah hukum yang jelas; ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari,'' papar Laksamana yang juga Sekda GNKS (Gerakan Nasional Kepedulian Sosial) Sumut.

Dalam beberapa pointer, lanjut Laksamana sebagaimana dikutip dari liputanbisnis, yang harus dimiliki masyarakat hukum adat untuk dapat memperjuangkan haknya melakukan kegiatan pengelolaan hutan, berupa payuguban atau kelembagaan yang sah dan memiliki legalitas sesuai peraturan negara.[ded]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Komunitas