post image
KOMENTAR
Pakar hukum tata negara Dr Margarito Kamis mempertanyakan komitmen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut kasus megaskandal Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (SKL BLBI).

Menurut Margarito, untuk menguliti kasus ini tidak terlalu sulit. Tidak perlu seorang profesor di bidang ekonomi untuk mengungkapkannya.

Kasus SKL BLBI ini, kata Margarito, terlampau sederhana dan tinggal lihat faktanya saja. Di kasus ini sudah jelas ada pihak yang belum bayar, tapi tiba-tiba ada keterangan sudah lunas lewat SKL BLBI.

"Nggak perlu jadi profesor ekonomi untuk ungkap ini. Apa KPK sengaja buat rumit biar ceritanya bisa jadi panjang?" ujar Margarito saat diskusi 'Penuntasan Kejahatan Ekonomi Skandal BLBI; Stop Politisasi, Jalankan Penegakkan Hukum' di Cikini, Jakarta, rabu (25/2).

Jelas Margarito keterangan yang diberikan mantan menteri dan pakar ekonomi seperti Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli saat dimintai keterangannya sudah jelas dan tak perlu diragukan lagi.

"Coba ditanya bank A dapat berapa? Udah bayar berapa? Hasilnya pasti janggal. Kalau sungguh-sungguh tidak sampai berbulan-bulan sudah dapat itu tersangkanya," beber dia.

Makanya, lanjut Margarito, selain kepemimpinan yang kuat, penegakan hukum yang esktra, serta terobosan hukum perlu dilakukan untuk ungkap siapa aktor di balik megaskandal SKL BLBI.

Diketahui, SKL itu dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8/2002. Saat itu, Presiden yang menjabat adalah Megawati Soekarnoputri. SKL tersebut berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal dengan inpres tentang release and discharge.

Berdasarkan inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3).

Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar kejaksaan mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Para Penerima SKL BLBI berdasarkan Penandatangan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) diantaranya adalah Anthony Salim dari Salim Grup (Bank Central Asia/BCA). Nilainya mencapai Rp 52,727 triliun. SKL terbit Maret 2004.

Ada juga Sjamsul Nursalim dari Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Nilainya Rp 27,4 triliun. Surat lunas terbit pada April 2004. Aset yang diserahkan di antaranya PT Dipasena (laku Rp 2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun). Kejaksaan Agung menghadiahinya surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Ada juga Mohammad "Bob" Hasan dari Bank Umum Nasional. Nilainya Rp 5,34 triliun. Bos Grup Nusamba ini menyerahkan 31 aset dalam perusahaan, terrmasuk 14,5 persen saham di PT Tugu Pratama Indonesia. Ada juga Sudwikatmono dari Bank Surya. Nilainya Rp 1,9 triliun, SKL terbit akhir 2003. Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional): Rp 664 miliar, SKL terbit akhir 2003. [hta/rmol]

Ganjar Pranowo Dilaporkan ke KPK, Apakah Prediksi Fahri Hamzah Terbukti?

Sebelumnya

Apple Kembali Alami Kenaikan Pendapatan, Kecuali di China Raya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa