post image
KOMENTAR
Upaya pemerintah membunuh benih-benih terorisme di media sosial bukan isapan jempol lagi. Polisi gencar memburu penyebar informasi bohong terkait terorisme. Sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang giat-giatnya memblokir akun media sosial pendukung teroris.

Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anton Charliyan, informasi bohong itu banyak beredar di media sosial dan di media online. "Saat ini mulai ada yang mengatakan ledakan (di Thamrin) adalah rekayasa TNI dan Polri," kata Anton di gedung Divisi Humas Mabes Polri, kemarin.

Anton menambahkan, berita semacam ini berbahaya jika dibiarkan dan kemudian dikonsumsi anak-anak dan masyarakat yang kurang berpendidikan.

Saat ini, menurut dia, tim dari Cyber Crime Mabes Polri mencari penyebar informasi semacam itu. Namun terkadang yang menjadi kendala adalah pemilik akun bi­asanya memiliki lebih dari satu alamat e-mail.

"E-mail address itu biasanya palsu. Namun akan kami cari operator aslinya," ujar Anton.

Semenjak terjadi serangan teror, Anton menambahkan, penyebaran jenis informasi seperti ini mengalami peningkatan. Isinya beragam, dari yang menyatakan aksi itu rekayasa hingga menyatakan aksi itu adalah pengalihan isu. "Padahal tak mungkin rekayasa, ada korban begitu banyak," tutur Anton.

Menurut Anton, jika terbukti me­nyebarkan informasi yang tak benar atau hoax, akan dilakukan penang­kapan. Namun, jika konteksnya adalah hate speech, akan dilakukan pemanggilan terhadap orang itu.

"Karena ini menebar kebohongan. Sengaja ingin melawan negara," ucap Anton.

Jantung Kota Jakarta diserang serangkaian aksi teror pada Kamis, 14 Januari 2016. Setidaknya terjadi tiga ledakan dan tembak-menembak yang mengakibatkan tujuh orang tewas di Jalan M.H. Thamrin, lima di antaranya pelaku pengeboman dan penembakan. Organisasi radikal ISIS telah mengklaim berada di balik serangan itu.

Namun Anton tidak menyebutkan akun media sosial apa saja yang penggunanya tengah diburu.

Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir belasan akun media sosial dan situs yang mendukung teror di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari 2016.

"Ada sebelas situs yang diblok pascabom itu," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas kementerian tersebut, Ismail Cawidu, Minggu (17/1).

Dari hasil pengawasan kementerian dan laporan dari masyarakat, akun Facebook atas nama Muhammad Subkhan Khalid, Batalion Inghimasi, dan Mujahidah Sungai Eufrat sudah diblokir.

Pemerintah juga menutup sebuah telegram di alamat http://telegram. me/jihadmedia01. "Akun-akun media sosial tersebut secara jelas men­dukung aksi-aksi teror," ujarnya.

Website atau situs lain yang diblokir, yaitu bahrunnaim.co, daw­lahislamiyyah.wordpress.com, ke­absahankhilafah.blogspot.co.id, khilafahdaulahislamiyyah.word­press.com, tapaktimba.tumblr.com, thoriquna.wordpress.com, tauhiddji­hat.blogspot.co.id, gurobahbersatu. blogspot.co.id, bushro2.blogspot. co.id mahabbatiloveislam.blogspot. co.id,dan azzam.in.

Terkait dengan akun dan video Bahrun Naim, sosok yang dinyatakan sebagai otak serangan teror di Jakarta, pemerintah sejak November 2015, telah menghapus akun Facebooknya sesuai dengan nama Muhammad Bahrunnaim Anggih Tantomo (https://www. facebook.com/profil.php?id =100010597723528).

Selain akun tersebut, pemerintah memblokir akun Twitter @kdme­dia16 dan @globalkdi karena dinilai radikal. Adapun video-video radikal yang telah diblokir sampai 2015, yakni 78 video radikalisme ISIS.

Kementerian Komunikasi dan Informatika, kata Ismail, meminta dukungan masyarakat dengan me­laporkan akun, tautan, situs, juga media yang menyiarkan kebohon­gan, fitnah, menyebarkan berita bohong (hoax), menipu, dan memuja radikalisme.

Juga penyorak kebiadaban teroris, merekayasa berita, membuat asumsi tanpa bukti-bukti, menghasut, dan menebarkan kebencian. Pelaporan ke aduankonten@mail.kominfo. go.id dan laporhoax@gmail.com, minta disertai bukti gambar (screen­shots).

Pemerintah, kata Ismail, akan menjerat pemilik situs itu dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik bagi penyebar kebencian dan permusuhan terhadap orang per orang atau golongan terkait dengan suku, agama, ras, dan antar­golongan.

Sanksi maksimal hukuman pidana penjara selama enam tahun serta denda maksimal Rp 1 miliar. [hta/rmol]]



Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas