post image
KOMENTAR
LIHATLAH, burung elang melanggam terbang begitu rendah. Lihat pula langit itu, terlanjur enggan untuk cerah membiru, parasnya berkaca-kaca. Keperkasaan matahari sudah tak sanggup lagi untuk menghadirkan sumber kehidupan.

Pertanda ada yang tak biasa dengan bumi. Bukan kesalahan bumi, ia hanya sedang dihadapkan dengan sebuah masalah.  Masalah yang membuat elang kehilangan kesuciannya, langit tak dapat memberikan ruang untuk keceriaan dan matahari terhambat memberikan sinar kehidupan, sibuk bersimpati menenangkan langit yang selalu murung.

Melalui angin, bumi coba menyampaikan pesan kepada elang, langit dan matahari. Pesan yang menyampaikan bahwa bumi sedang menghadapi manusia-manusia yang gemar mencuri kata-kata suci. Pencurian kata-kata suci itu mengikis etika dan estetika kehidupan di bumi.

Bumi sudah cukup gerah dengan manusia-manusia yang mencuri kata-kata suci. Tak cukup menyampaikan pesan kepada elang, langit dan matahari. Angin juga menyampaikan pesan itu kepada setiap insan, tingkatan tertinggi untuk homo sapiens. Insan diminta untuk menjadi agen yang memberikan proses penyadaran kepada setiap homo sapiens lain yang hanya sekedar ada di bumi. Memberikan kesadaran bahwa ada berbagai kelompok manusia yang sudah mencuri kata-kata suci dan menggunakannya untuk hal yang  tidak baik, kontra terhadap kemakmuran bumi.

Kata-kata yang telah dicuri disampaikan dari tingkatan terendah hingga tertinggi daya rusaknya. “Mahasiswa” adalah sebuah kata yang sangat suci, sebuah chandradimuka intelektual. Kata ini memiliki tiga nilai radikal, yaitu pendidikan, penelitian dan pengembangan, pengabdian kepada masyarakat. Ketiga nilai radikal tersebut wajib berjalan secara kolektif.

Namun kata ini telah dicuri, manusia-manusia yang menggunakan intelektualitas untuk membodohi manusia lemah, mementingkan diri sendiri, bahkan terkadang menjadi pengganggu kenyamanan masyarakat telah menamai diri sebagai mahasiswa. Lihatlah contohnya, oknum-oknum yang berada di HMI, GMKI, GMNI, PMII, PMKRI, IMM dan sekumpulan oknum yang menggunakan kata “mahasiswa” lainnya. Apa saja yang telah mereka lakukan dalam jubah mahasiswanya? Mengolah, mencuri, mengkhianati, mencaci maki, sudah maklum untuk dilakukan.

Setelah mahasiswa, pesan beranjak ke tingkat selanjutnya, kata “pemuda”. Pemakaian kata ini sungguh berperan penting untuk pembangunan nasional hingga dibuatkan Undang-Undang khusus untuk mengaturnya, UU No. 40 tahun 2009. Untuk mewujudkan pembangunan nasional, wajib terdapat kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan di dalam dirinya.

Begitu sakti kata pemuda ini hingga dipakai sebagai bahan bakar semangat pencapaian kemerdekaan Indonesia kala itu. Oknum IPK dan PP adalah pemicu tercurinya kata suci “pemuda”. Bukan seperti yang telah diamanhkan Undang-Undang, kata “pemuda” disalahgunakan untuk menjalankan kekerasan, kebrutalan, ketamakan, dehumanisasi, pemerasan dan kelakuan nakal lainnya. Kapan mereka pernah benar menggunakannya untuk pengaktualisasian amanat UU? Kalau ada, pasti hanya sekedar formalitas, kamuflase.

Kata “politik” juga dicuri dan tingkat daya rusaknya lebih tinggi dari pencurian kata “mahasiswa” dan “pemuda”. Setiap manusia membutuhkan nilai politik untuk berkehidupan. Kehidupan yang baik akan didapatkan melalui proses politik yang sebenar-benarnya, mempengaruhi orang lain untuk mengikuti kehendak baik.

Seluruh partai politik hari ini sudah mencuri kata-kata ini, menjadikan kata ini sama busuknya dengan bau sampah, memberikan kesakitan. Sejatinya manusia butuh proses politik, tetapi sekarang malah menjadi anti politik karena partai-partai politik tersebut. Ketika sudah anti untuk berpolitik, maka apatisme akan menyelimuti kehidupan bernegara masyarakat.

Kata selanjutnya yang telah dicuri adalah Pancasila. Kata “Pancasila” sudah dicuri oleh hampir seluruh manusia jahat di bumi nusantara ini. Manusia-manusia yang telah mencuri kata “mahasiswa”, “pemuda” dan “politik” bahu-membahu mencuri kata “Pancasila”. Kelima nilai dasar nan luhur Indonesia itu kini hanya menjadi riasan untuk menutupi wajah jahat setiap pihak yang telah disebutkan di atas. Membuat masyarakat biasa tertipu dan mabuk tak berdaya, menyangka mereka benar-benar mengamalkan nilai Pancasila. Padahal mereka sedang masuk ke dalam, mencuri setiap pendapatan masyarakat yang sedang dimabukkan.

Kata “agama” juga dicuri, tak jarang oknum yang mencuri empat kata di atas juga mencuri kata “agama” untuk memuluskan niat busuknya. Kata “agama” semakin berbahaya ketika dicuri dan digunakan sebagai tameng pemeluk agama.  Atas nama agama, sekelompok orang dapat melakukan hal apapun meskipun merugikan kehidupan manusia dan tidak mendukung makmurnya bumi. Aktor-aktor yang mencuri kata “agama” ini adalah para oknum yang mengkalim diri sebagai menteri, sebuah majelis keulamaan, ustadz, pendeta, biksu dan lainnya. Jumlah oknum yang mencuri kata “agama” menjadikan ulama, ustadz, pendeta, biksu dan lainnya yang benar-benar ingin mewujudkan agama sebagai sistem kehidupan mulai berada pada jumlah yang minor.

Bahkan kata “Tuhan” juga sudah mulai dicuri. Kata “Tuhan” digunakan untuk mengadili secara tidak adil kelompok yang berseberangan dengan si pencuri kata “Tuhan”. Menundukkan kehendak  manusia lainnya karena takut dengan kekuatan si pencuri kata “Tuhan”.
Sering orang berkata, “apalah arti sebuah kata”. Tak bisa dielakkan, kata adalah simbol yang mewakili interaksi setiap manusia.

Apa jadinya dunia tanpa kata?
Apa jadinya jika kata-kata suci dicuri oleh manusia-manusia jahat yang tak bertanggungjawab?

Pada akhir pesan bumi yang disampaikan melalui angin kepada insan berbunyi begitu lirih dan serius, “Wahai insan, jadilah agen untuk merebut kembali kata-kata suci itu! Gunakan kata-kata suci itu untuk perbuatan suci!  Kata-kata suci itu tidak pantas digunakan oleh orang-orang yang ingin merusak bumi.”

#NikmatnyaSeranganFajar     

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Serangan Fajar