post image
KOMENTAR
Hingga kini Indonesia disebut tidak memiliki database konkrit tentang jumlah nelayan seluruh Indonesia. Selain itu, persoalan-persoalan yang nyata dalam sektor kelautan dan perikanan serta kehidupan nelayan Indonesia pun tidak terpetakan dengan baik, sehingga program pemerintahan Jokowi yang hendak menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia bisa-bisa hanya tinggal kenangan jika tak segera melakukan sensus nelayan itu.
 
Koordinator Bidang Energi dan Sarana Prasarana Perikanan DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Siswaryudi Heru mengungkapkan, hingga kini pemerintah Indonesia meng-klaim memiliki data jumlah nelayan Indonesia sebanyak 2,2 juta jiwa. Tentu data itu tidak logis dan kurang ril dengan kondisi Indonesia.
 
"Secara kuantitas saja Indonesia belum memiliki data ril mengenai jumlah nelayan Indonesia. Apakah logis bila nelayan kita hanya sebanyak 2 juta 2 ratus jiwa dari Sabang sampai Merauke? Yang belum terdata sangat banyak, saya malah memprediksi jumlah nelayan Indonesia itu bisa mencapai 12-an juta jiwa. Sebab, Indonesia sebagai Negara Kepulauan, di setiap pesisir pasti ada Nelayan, dari ujung Timur Indonesia hingga ujung Barat,” ungkap Siswaryudi, di Jakarta, Sabtu (12/3).
 
Menurut Wakil Ketua Komite Tetap Hubungan Dengan Lembaga Legislatif Kamar Dagang Dan Industri (Kadin) Indonesia ini, Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, sehingga sangat tidak logis jika data resmi yang dimiliki pemerintah hanya 2,2 juta jiwa nelayan Indonesia.
 
"Saya kira, pemerintah harus melakukan sensus nelayan Indonesia. Sensus menyeluruh, baik itu jumlah nelayan, kondisi perekonomian, persebaran wilayah, penyerapan tenaga kerja, problem-problem kelautan dan perikanan di sektor nelayan dan semuanya. Sensus nelayan itu menjadi hal pokok dan sangat penting yang harus segera dilakukan,” ujar Siswaryudi.
 
Menurut dia, setinggi apapun pemerintah bermimpi bahkan hendak menjadikan Indonesia sebagai Negara Poros Maritim Dunia, jika tidak memiliki database nelayan yang konkrit, tentu semua program dan mimpi itu menjadi tidak tepat sasaran dan bisa-bisa hanya tinggal kenangan saja.
 
Lebih lanjut, Siswaryudi Heru yang juga anggota pengarah Dewan Perubahan Iklim Nasional ini menyampaikan, semua program pemerintah untuk nelayan dan sektor kelautan dan perikanan menjadi tidak efektif bila tidak melakukan sensus nelayan.
 
"Bagaimana mau tepat sasaran bila pemetaan dan sensus jumlah dan juga persoalan-persoalannya tidak dimiliki oleh Pemerintah. Jadi, sebaiknya dilakukan saja dulu sensus nelayan itu,” ujar dia.
 
Perlu diketahui, lanjut dia, segmentasi nelayan di Indonesia itu sangat beragam, juga bidang-bidang kegiatan dan usaha maupun aktivitasnya bermacam-macam. Tentu saja hal itu memiliki problema yang agak berbeda juga satu dengan lainnya. Maka, dalam sensus itulah akan terpetakan dengan gamblang jumlah nelayan secara nyata, juga segala program pemerintah yang akan dilakukan kepada mereka.
 
"Sebab, banyak juga nelayan yang menuliskan bahwa dirinya adalah pegawai atau karyawan swasta di KTP-nya (Kartu Tanda Penduduk). Misal, kalau tertangkap di laut, nelayan diminta KTP-nya lah yang tertulis malah dia bukan nelayan, tetapi karyawan swasta. Padahal Nelayan itu adalah pekerjaan mulia. Mengapa tidak bangga sebagai Nelayan? Salah satu penyebabnya adalah kalau menuliskan pekerjaan sebagai Nelayan, akan sangat sulit memperoleh pinjaman usaha dari bank,” tutur Siswaryudi.
 
Menurut Siswaryudi, data jumlah nelayan sebanyak 2,2 juta jiwa yang saat ini dimiliki pemerintah hanyalah data yang tidak menyeluruh yang diperoleh dari Dinas-Dinas Perikanan.
 
Tentu, kata dia, jika datanya parsial saja, dan itu dijadikan acuan oleh pemerintah untuk menjalankan program-program pemerintah, niscahya tidak akan bisa tepat sasaran.
 
"Dari tingkat usia, tingkat penghasilan, jenis tangkapan, wilayah melaut dan seterusnya, data itu belum ada secara lengkap. Jadi, jika memang Indonesia hendak menjadi Negara Poros Maritim Dunia, tidak ada kata lain ya harus dilakukan sensus nelayan itu,” pungkas Siswaryudi.
 
Senada dengan Siswaryudi, akademisi dari Universitas Warmadewa Denpasar Bali, Gede Sudiarta mengatakan, untuk mengoptimalkan pedoman pemerintah dalam mengambil kebijakan yang mendukung kesejahteraan nelayan, maka sensus nelayan itu sangat perlu dilakukan.
 
"Upaya strategis ini dilakukan untuk mendata jumlah rumah tangga perikanan (RTP) pada tiap desa nelayan sesuai kondisi terkini, mengetahui alat tangkap apa yang digunakan maupun dibutuhkan, mengetahui hasil tangkap dan mekanisme pemasaran hasil tangkap,”  ujar Gede Sudiarta belum lama ini.
 
Dia menjelaskan, RTP merupakan nelayan yang menggantungkan pendapatan keluarganya dari kegiatan perikanan, artinya masyarakat pesisir yang berkecimpung langsung dalam usaha di sektor perikanan, mulai dari hulu (penangkapan) hingga hilir (pemasaran) yang bertujuan ekonomis. Namun, kegiatan penangkapan ikan untuk tujuan wisata (sport fishing) maupun kegiatan rekreasi yang dilakukan nelayan tidak dapat dikategorikan kegiatan perikanan.
 
Oleh sebab itu, dengan adanya sensus nelayan itu akan menjadi pedoman dalam pelaksanan statistik perikanan yang berpedoman pada Food and Agriculture Organization (FAO) dan diatur dalam Undang-Undang tentang sumber daya perairan.
 
Menurut dia, sensus Nelayan secara keseluruhan belum pernah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini. Perlu ditekankan, survei-survei nelayan yang dilakukan berbagai pihak tidaklah sama dengan sensus nelayan.
 
Gede Sudiarta mengatakan sensus nelayan sangat penting dilakukan mengingat data di lapangan akan dijadikan pedoman pemerintah dalam mengambil kebijakan yang mendukung kesejahteraan nelayan.
 
Dia merekomendasi agar sensus nelayan tersebut dioptimal sehingga dalam perencanaan program, pemberian bantuan dan pelaksanaan kegiatan untuk masyarakat pesisir tepat sasaran.
 
"Hal ini akan berdampak kepada nelayan nantinya, sehingga terjadi perbaikan dalam regulasi maupun bantuan dari pemerintah, sehingga nelayan dapat mengembangkan usahanya dan diharapkan dapat memberi kemudahan mengakses permodalan,” ujar Gede Sudiarta.
 
Gede berharap pemerintah melakukan klasifikasi usaha nelayan yang menggantungkan penghidupannya dari mencari ikan (nelayan penuh), sumber penghidupannya sebagian besar dari nelayan lainnya dan memiliki pekerjaan lain.
 
"Pemerintah harus memahami apa saja yang diperlukan nelayan di masing-masing kabupaten atau kota sesuai dengan kebutuhan di kawasan tersebut,” pungksnya. [hta/rmol]

 

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi