post image
KOMENTAR
Biaya pendidikan yang tinggi, peralatan yang canggih, tanggug jawab yang besar, hingga salah satu aspek prioritas di Indonesia menjadi sejumlah alasan yang menjadikan jasa profesi kedokteran bernilai cukup mahal. Hingga pada satu titik, masyarakat baik dari kalangan dokter maupun kalangan umum lebih mengenal profesi kedokteran sebagai profesi yang ekslusif dan menafikannya sebagai profesi yang mulia.

Pandangan masyarakat yang menganggap profesi kedokteran sebagai profesi yang eksklusif tersebut kemudian menciptakan bias masalah. Masalah ini kemudian dapat dikategorikan ke dalam banyak hal, di antaranya adalah masalah pada dokter itu sendiri, masalah pada masyarakat dan masalah pada negara.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penyebab dasar bergesernya makna profesi kedokteran dari profesi yang mulia menjadi profesi yang eksklusif, kita harus menelaah terlebih dahulu satu persatu masalah yang telah disebutkan tadi.

Masalah Pada Dokter


Serupa dengan profesi lainnya, konotasi dan stigma 'oknum' juga mewarnai profesi kedokteran. Jika masyarakat mengatakan bahwa semua dokter itu sama saja, hanya mementingkan bayaran mahal untuk layanan jasanya, maka itu serupa seperti mengatakan bahwa semua pejabat negara adalah koruptor. Maka benar adanya jika dikatakan hanya sejumlah oknum dokter yang melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma dan etika kedokteran. Tidak semua dokter dapat digeneralisir sebagai pihak yang hanya mementingkan bayaran mahal saja.

Hal tersebut diakui oleh dokter asal Medan, Sumatera Utara, dr. Restuti  Hidayani Saragih, SpPD FINASIM yang juga merupakan aktivis sosial saat diwawancarai secara eksklusif oleh MedanBagus.com beberapa waktu lalu.

"Memang ada sejumlah oknum yang bertindak di luar norma dan etika dokter yang ideal. Namun sama seperti profesi lainnya, hanya oknum! Tidak benar jika disamaratakan semua dokter itu sesuai dengan pandangan negatif masyarakat," katanya.

Tindakan dan tingkah laku yang diidentifikasikan Restuti sebagai oknum tersebut sudah cukup menjadi satu bukti masalah yang ada pada pihak dokter itu sendiri. Hingga saat ini, sejumlah oknum dokter yang melakukan hal di luar norma dan etika kedokteran, menyumbangkan kontribusi atas dituduhnya dokter sebagai profesi yang eksklusif.

Masalah Pada Masyarakat


Dapat dikatakan dengan sederhana, masyarakat hanya ingin mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik dari dokter. Dan itu bukan hal yang berlebihan, sebab memang telah diatur oleh UUD 1945 bahwa negara wajib menjamin kesehatan bagi rakyatnya.

Pengetahuan sebatas itu tidaklah cukup, sebab dokter memiliki batas kemampuan dan standar operasional yang mestinya juga diketahui oleh calon pasien. Dokter bukanlah tuhan yang dapat memastikan si pasien dapat selamat dengan sempurna dari penyakitnya.

Restuti mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan dirinya dan rekan-rekan dokter lainnya hanya pada tahap mencegah dan mengupayakan kesembuhan pada pasien, tentunya juga diimbangi dengan ketetapan bahwa dokter tidak boleh melakukan mal praktek.

"Masyarakat juga harus mendapatkan edukasi tentang profesi kedokteran agar masyarakat tidak memandang kami sebagai lawan. Masyarakat dan dokter itu satu pihak. Masyarakat kita juga banyak yang kurang sabar bila berobat ke dokter. Bayangkan saja, dokter di Indonesia bisa melayani puluhan hingga ratusan pasien perhari. Sewajarnya dalam memeriksa pasien dibutuhkan waktu 10-15 menit mulai dari wawancara hingga diberikan pengobatan sesuai standar WHO. Bila standar WHO tersebut diikuti maka para dokter tidak akan pernah istirahat selama 24 jam penuh. Ingat, dokter juga manusia yang memiliki keluarga dan butuh istirahat dan mempunyai kewajiban untuk menjaga kesehatannya agar tetap bisa melayani pasiennya. Sebenarnya dokter dan pasien itu terletak dalam pihak yang sama. Dokter tentunya ingin memberikan pelayanan sebaik-baiknya dan pasien juga ingin mendapatkan pelayanan yang berkualitas," jelasnya.

Namun kenyataannya, masyarakat atau dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pasien tidak terlalu mengetahui hal tersebut. Sehingga pasien sering merasa tidak sabar dan melakukan protes kepada dokter. Ditambah dengan jumlah pasien yang tinggi, maka terkadang dokter harus meniadakan terapi emosional atau wawancara tersebut.

"Sejatinya terapi atau wawancara sebelum memberikan layanan kesehatan itu sangat dibutuhkan untuk menangani pasien. Namun masyarakat kurang mengetahui hal itu dan kemudian menganggap kami tidak bersosial," ungkapnya.

Masalah Pada Negara

Masalah pada negara yang berkaitan tentang profesi kedokteran meliputi banyak hal, antara lain sistem kesehatan nasional perlindungan hukum dan penghargaan yang layak bagi dokter.

Sistem kesehatan nasional mutlak dipengaruhi oleh hukum dan kebijakan negara. Segala bentuk regulasi dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat juga diatur oleh negara. Jika kesehatan itu mahal, maka negara lah yang membentuknya.

"Banyak faktor yang menyebabkan mahalnya jasa kesehatan. Kami hanya frontline dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan, selebihnya negara yang menentukan," tutur Restuti.

Negara juga menuntut dokter untuk melakukan pelayanan sebaik-baiknya dengan alasan pengabdian. Namun dibalik hal tersebut, negara tidak menyediakan pembiayaan kesehatan yang cukup.

"Realitanya, kami dituntut untuk melakukan pelayanan sebaik baiknya, denyan alasan pengabdian. Kita disuruh kerja bagus tapi pembiayaan kesehatannya tidak cukup. Tidak banyak yang tahu ini. Kami disuruh ready 24 jam, namun honor kami sering terlambat diberikan negara, kami juga manusia," jelas Retuti.

Restuti menekankan, pengabdian yang menjadi tanggung jawab dokter harus disertai dengan kepastian perlindugan hukum dan penghargaan yang layak. Sebab, walau berstatus sebagai salah satu profesi dengan nilai ekonomi yang tinggi, dokter juga rakyat yang hak-haknya harus diberikan negara.

"Kami sering mempertanyakan, dokter itu rakyat bukan ya? Kami butuh kepastian perlindungan hukum dan penghargaan yang layak. Tidak semua dokter itu kaya. Contohnya dokter internsip, dokter muda yang punya kewajiban 1 tahun yang berdasarkan Undang-Undang untuk memantapkan pendidikannya di kirim ke berbagai daerah plosok. BHD nya kecil dan sangat minim, timpang dengan UMR," tegasnya.

Kesimpulan

Maka sudah jelas, pandangan dan stigma masyarakat yang menganggap dokter adalah profesi yang eksklusif dan jauh dari nilai-nilai sosial bukan merupakan suatu kondisi yang ideal. Sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh dokter sekaligus aktivis sosial, Restuti, profesi dokter secara ideal harus dekat dengan nilai-nilai sosial. Kemudian, dokter dan masyarakat merupakan satu pihak yang dapat bersama-sama menciptakan pelayanan kesehatan ideal.    

Jika dokter, masyarakat dan negara saling memahami dan mengetahui urgenitas profesi kedokteran serta standar prosedurnya, masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas akan teratasi. Dengan teratasinya masalah-masalah tersebut, maka masyarakat tidak lagi menganggap dokter sebagai profesi yang eksklusif dan jauh dari nilai sosial. Justru dokter akan kembali menjadi jati diri yang sebenarnya, yaitu profesi yang mulia dan berjiwa sosial tinggi.[sfj]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas