post image
KOMENTAR
Ambisi pemerintah untuk menyelesaikan proyek kelistrikan dengan kapasitas sebesar 35.000 Megawatt mendadak buyar, menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa perkembangannya dalam 2 tahun ini berjalan lamban dan sejauh ini realisasinya masih terlalu kecil.

Situasi inipun mulai membuat masyarakat terheran-heran. Padahal Presiden mengharapkan proyek itu bisa rampung di akhir masa jabatannya agar bisa meningkatkan rasio elektrifikasi nasional yang masih terbilang redah.

Sayangnya, harapan Jokowi tidak didukung para pembantunya khususnya Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), baik Sudirman Said sebagai pejabat lama maupun yang sekarang Ignatius Jonan. Sebaliknya, keduanya diberbagai kesempatan seolah tidak patuh dengan pimpinannya dengan menyatakan proyek itu hanya bisa direalisir tahun 2025.

"Pernyataan yang sangat apatis itu seperti menjadi benar karena disajikan pemerintah, padahal faktanya tidak demikian" papar Ramdhani Koordinator Investigasi Masyarakat Peduli Listrik (MPL) kepada wartawan di Medan Minggu (13/11).

"Sejak ungkapan apatis itu beredar, sesungguhnya kami sudah melihat bahwa pernyataan itu penuh dengan ketidak-benaran. Malah, bagi komunitas dunia kelistrikan hal itu jadi sangat mengherankan. Kok jajaran pemerintah malah menjadikan program unggulan Presiden seperti sebagai 'sansak' pukulan politik perebutan, bukan malah bersama-sama untuk mencarikan solusi? Kan aneh?" Heran pria kelahiran Deliserdang itu.

Pria yang gemar menelusuri jalur transmisi itu melanjutkan, lalu sedikit demi sedikit apatisme itu mulai ditanggapi banyak pihak dengan berbagai sajian pembantahnya.

"Lihatlah bagaimana reaksi pemerintah ketika Komisi VII DPR RI menyatakan bahwa proyek itu sangat rasional bisa direalisir, sebab rasio elektrifikasi listrik di China saja bisa dikebut dalam dua tahun. China meningkatkan rasio pada level gigawatt, bukan level megawatt lagi lho" tegas Ramdhani didampingi Kepala Perwakilan MPL Sumatera Utara Muhammad Ridho.

Dengan nada bertanya, Ramdhani pun menyatakan keharannya, apa Kementerian tidak menganggap pernyataan DPR itu sebagai bentuk dukungan riel? Kok malah terus menggerutu? Sudah didukung DPR kok malah masih gerutu.

"Apalagi DPR mencurigai seperti ada keinginan dari Kementerian ESDM untuk langsung berposisi sebagai pengendali proyek itu. Masa pekerjaan khusus kelistrikan hendak mereka tangani disaat ada BUMN yang spesifik bisa menangani kelistrikan? Jadi bukankah itu menandakan bahwa ada perseteruan terselubung?" sebutnya.

Terus, lanjutnya, PT PLN (Persero) melalui Direktur Utamanya Sofyan Basir membantah bahwa proyek 35.000 MW berjalan lamban. Proyek kebanggaan Jokowi itu kata dia masih berjalan lancar alias on progress mencapai 40%.

"Itu tegas lho disampaikan Dirutnya, di istana negara lagi. Nah, mana yang harus dipercaya masyarakat?," tambah pria plontos itu.

Dari angka 40%, sambungnya, itu sekitar 4% pembangkit telah mulai beroperasi (commercial operation date/COD) yang digarap oleh China, sebab mereka tidak membutuhkan jaminan dari pemerintah Indonesia sehingga tidak perlu menunggu financial close. Basir menyebut bahwa membangun pembangkit membutuhkan waktu tiga hingga empat tahun. Nah, pernyataan Basir itu menjelaskan bahwa proyek itu sudah dipolitisasi bukan?

"Tahukah Kementerian ESDM bahwa selain teknis pembangunan pembangkit seperti dikeluhkan Kementerian ESDM, ternyata PT PLN (Persero) dibiarkan sendirian berdarah-darah membangun jaringan transmisi? Dari mulai perencanaan menentukan titik koordinat tapak tower, membebaskan lahan tapak tower, membangun tower sampai eriction, membebaskan lahan ROW atau lintasan kabel yang panjang kali lebar bisa sampai 4.600.000 meter persegi tanah milik rakyat, sampai harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat atau koordinasi dengan seluruh insitusi pemerintah daerah juga harus melakukan konsinyasi. Itu adalah kegiatan yang sangat menyita energi PT PLN (Persero)" beber Ramdhani.

Pembangunan jaringan transmisi itu, sesungguhnya berdasar pengalaman empirik kami adalah lebih vital dari hanya sekedar membangun pembangkit lho, paparnya.

"Tidak mudah mengimplementasi proyek pembangunan jikalau bersentuhan langsung dengan kehidupan publik yang memiliki karakteristik berbeda-beda di Indonesia. Pengalaman kami memantau kinerja PT PLN (Persero) saat membangun jaringan transmisi di pulau Jawa, Sulawesi dan Sumatera memperlihatkan bahwa mereka dibiarkan sendiri oleh pemerintah pusat.

Coba Menteri ESDM menilik hal itu secara langsung. Kami sangat yakin bahwa Kementerian itu tidak pernah secara nyata-nyata mendorong dan menolong PT PLN (Persero) untuk menghadapi tingkat kesulitan kinerja mereka" sesalnya.

Lebih jauh dingkapkannya, di pulau Sumatera, khususnya di provinsi Aceh, Sumut, Sumbar, Riau dan Kepri, malah kami amati pembangunan jaringan transmisi akan bisa dengan cepat mereka selesaikan. Nyaris 1.900.000 meter persegi tanah rakyat yang menjadi bagian ROW sudah tertangani PT PLN (Persero), malah sudah diresmikan Dirutnya dengan bangga.

"Itu sebenarnya suatu prestasi kerja anak buah Basir kan? Masa hal baik seperti itu luput dari monitor Kementerian sih" tukasnya heran.

Jika Kementerian bisa secara faktual mencermatinya, sambungnya, MPL berfikir bahwa tentunya Menteri ESDM akan terhentak dan bisa memahami dimana ketidak-akuratan pernyataannya.

"Kan pak Jonan suka blusukan seperti pak Presiden, monggo dong seperti kami untuk mengintip kinerja PT PLN (Persero) di pulau-pulau yang jauh dari Jakarta tersebut" tambah dia.

Jadi bagi kami, penugasan Presiden kepada BPKP untuk mengaudit proyek kelistrikan yang mangkrak itu adalah terkait dengan pembangunan pembangkit dari proyek 10.000 megawatt. Itu yang seharusnya difokuskan aparat hukum karena proyek pembangunan pembangkit itu sudah lebih 10 tahun tapi belum selesai juga. Itu definisi mangkrak, tukasnya.

"Bukan yang 35.000 MW yang mangkrak, karena proyek tersebut kan baru dan sedang dijalankan mereka. Jangan dibiaskan lagi hal itu sehingga jadi politis" pungkasnya.[rgu]

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Sebelumnya

Delapan Butir Maklumat KAMI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini