post image
KOMENTAR
Rachmawati Soekarnoputri adalah satu dari 9 tokoh yang dituding hendak melakukan upaya makar oleh kepolisian. Putri proklamator Ir. Soekarno itu memban­tah keras hendak melakukan "pengkhianatan" terhadap bangsa dan negara. Yang diinginkan Rachma, hanya mendesak MPR untuk kembali ke UUD 1945.

"Polisi kelewatan, berlebihan. Upaya bela negara ini malah dipelintir sedemikian rupa, dika­takan ini permufakatan upaya makar," protes Rachmawati.

Jumat (16/12) malam, Rakyat Merdeka berbincang dengan Rachmawati di kediamannya, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A.

Duduk di kursi roda, Rachma terus menyuarakan pentingnya kembali ke UUD 1945. Berikut petikannya;

Bagaimana kondisi kesehatan Anda paska penangka­pan?
Sudah mulai dalam pemulihan dari kemarin. Masih suka up and down. Tekanan darah sudah mulai normal. Tapi laju endap darahnya belum normal.

Sejauh mana tuduhan ma­kar ini juga berpengaruh ter­hadap kesehatan Anda?
Itu sedikit banyak memakan pikiran saya juga. Kenapa bisa dituduh makar, sementara saya tahu tuduhan yang disebut makar itu sangat melekat pada upaya-upaya yang merusak tatanan kenegaraan kita juga. Saya pikir tuduhan itu sangat tidak masuk akal. Bahkan, cukup sadis.

Sebetulnya apa yang akan Anda lakukan pada tanggal 2 Desember?
Ada dua agenda kami ke DPR/MPR. Pertama, dalam rangka aksi bela Islam, mengawal proseshukum AHOK. Kedua, aksi bela negara, menuntut kembali ke UUD 1945 yang asli. Dua tagline ini kami akan sampaikan nanti kepada pimpinan MPR.

Kami juga sudah kirimkan surat pemberitahuan ke Polda Metro Jaya terkait rencana aksi bela negara di Depan DPR, tanggal 2, pukul 1 siang dengan jumlah massa 20 ribu orang.

Sudah ada komunikasi den­gan pimpinan MPR?
Sebelumnya saya sudah berkomunikasi dengan ketua MPR, Zulkifli Hasan. Pada 15Desember 2015, kami dari Gerakan Selamatkan NKRIke MPR, dan diterima pimpinan MPR, sekitar 20 orang.

Kemudian saya bertemu den­gan pak Zulkifli, 23 Mei 2016. Saat itu dia bilang, dua arus yang berkembang dalam parle­men sendiri. Satu yang ingin kembali ke UUD 1945, dan satu lagi yang ingin lewat amande­men kelima.

Apa tanggapan Ketua MPR ketika Anda menyampaikan soal aksi itu?
Pak Zulkifli mengaku punya kepedulian yang sama. Dia senang jika massa ke MPR untuk menyampaikan aspirasinya.

Tapi polisi menyebut, Anda akan menduduki DPR/MPR pada 2 Desember itu?
Oh, nggak ada menduduki DPR/MPR, kita minta di luar gedung kok. Sudah saya instruksikan kepada yang akan ikut, gerakan kita soft landing, hanya berada di luar gedung DPR/MPR. Sampai di sana, kita minta pak Zulkifli menemui kita di luar. Lalu kita serahkan petisi kembali ke UUD 1945. Skenarionya begitu. Tidak ada tuntutan melengserkan pemerintahan Jokowi-JK.

Kenapa Anda ngotot untuk kembali ke UUD 1945?
Di dalam proses amandemen banyak pelanggaran-pelang­garan dari tahun 1999-2002. Pertama, tidak melalui proses referendum. Pendapat rakyat harus ditanyakan dulu.

Kedua, amandemen itu hanya berupa risalah rapat anggota MPR, tidak dicatatkan di dalam lembaran berita negara.

Ketiga, bahan atau draf yang sudah ada disiapkan oleh kon­sultan asing, NDI, dari AS, National Democrat Institute, Jimmy Carter.

Keempat, memanipulasi pena­maan dengan istilah UUD 1945, padahal isinya sudah berubah sama sekali. Jadi orang terjebak dengan kosakata UUD 1945.

Perubahan yang dilakukan empat kali itu sudah cukup memberikan arti bahwa UU kita sudah bukan UUD 1945.

Sebetulnya, kalau di dalam ketentuan, perubahan tidak perlu dengan amandemen, tapi dengan istilahnya adendum. Amandemen kelima, memberi­kan kewenangan kepada MPR untuk membuat GBHN. Itu membuka peluang amandemen-amandemen berikutnya.

Memang bagaimana seharusnya GBHN itu dibuat?
GBHN menurut Panca Azimat Revolusinya Bung Karno yang saya pelajari, harus melalui basic lima unsur, yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK). UUD-nya kan sudah berubah, jadi bagaimana bisa kembali kepada GBHN seperti UUD yang masih utuh? Ini harus dipertanyakan.

Lalu bagaimana kemudian polisi menuduh Anda ma­kar?
Saya nggak tahu, polisi kele­watan, berlebihan. Upaya bela negara ini malah dipelintir sede­mikian rupa, dikatakan ini per­mufakatan upaya makar.

Mereka maksa masuk, pem­bantu saya suruh buka pintu, lalu merangsek, gedar-gedor pintu kamar saya. Tapi dilarang suami saya. Kebetulan suami saya mau mandi.

Kemudian polisi juga "me­narik-narik" soal sponsor dana dari mana. Kalau demo pun saya selalu apresiasi dengan memberikan makan dan minum. Saya tak tahu di belakang ini ada apa.

Apa dasar polisi menangkap Anda?
Dari surat penangkapan 2 pagi, dasarnya adalah pertemuan tang­gal 1 Desember 2016. Tanggal 1 itu kegiatan saya hanya jumpa pers di Hotel Sari Pan Pasific, soal rencana bela negara. Jumpa pers secara terbuka, banyak wartawan.

Yang saya ingat, di kanan saya ada Lily wahid, Syarwan Hamid di kiri saya. Ada juga Adityawarman, Ahmad Dhani, Hatta Taliwang, juga Firza Husein sama ibunya, datang dari Palu pada hari itu.

Dalam pemeriksaan tak dikonfirmasi apa yang dituduhkan ke Anda?
Saya belum sempat diambil BAP karena pada waktu pen­angkapan kondisi kesehatan saya nggak bagus, tekanan darah saya cukup tinggi sehingga dokter dari polisi melarang saya untuk di-BAP. Jadi saya mesti menunggu sampai kondisi mem­baik.

Polisi juga melakukan peng­geledahan, kan?
Nah, itu lucunya. Sebelum ada BAP, dilakukan penggeledahan untuk mencari barang bukti. Ini jadi dibalik.

Agak aneh menurut saya. Polisi sekarang ini terlalu, bukan saja subjektif, tapi juga banyak pelintiran. Misal membuat tar­get dulu, pasal sekian makar, baru unsur-unsurnya dipenuhi. Harusnya lidik, gelar perkara, projusticia dulu. Setahu saya begitu.

Apa penangkapan ini ber­hubungan dengan penguasa?
Oh iya. Kalau secara politis saya melihat, perubahan ter­hadap UUD 1945 akan mer­ubah sistem, mereka tidak mau. Karena selama ini privilage liberal kapitalis ini sudah dinikmati sekian lama.

Mereka sudah nyaman. Mereka melakukan segala upaya, untuk mempertahankan.

Saya selalu konsisten meng­kritisi hasil amandemen, dengan solusi. Hulunya kembali ke UUD 1945, hilirnya banyak, kesenjangan sosial, dekadensi moral, tergantung dengan pihak asing, hutang sangat besar.

Berarti Anda memang tidak suka dengan pemerintahan sekarang?
Kalau saya bukan suka atau tidak suka, tapi secara objektif, keadaan sekarang sudah tidak sesuai dengan rel yang benar, jauh panggang dari api. Harus dikritisi, kalau tidak, artinya kita dikatakan berkhianat pada bangsa dan negara.

Misal, yang saya heran, ban­yak pengangguran, kok impor buruh-buruh dari luar. Dikuasai asing. Bendera-bendera asing sudah menutupi nusantara kita, 90 persen SDA, 51 persen dikua­sai asing, 20 persen BUMN, 10 persen dikuasai kelas marhaen, kaum yang masih mempunyai alat produksi, petani. Selebihnya sudah jadi proletar. Ini mem­bahayakan, kesenjangan sosial dan proletariat ini ladang subur munculnya komunisme.

Apa Anda sudah siap jika diperiksa kembali?
Sampai sekarang, belum ada jadwal. Mungkin menunggu kesehatan saya juga. Kalau nanti diperiksa, saya akan biasa aja, akan saya jawab apa adanya. Saya yakin, tidak ada seperti yang dituduhkan ke saya.

Setelah penangkapan ini Anda masih akan menuntut kembali ke UUD 1945?
Saya selalu mengatakan, se­orang pejuang tidak ada kata berhenti, harus terus berjuang untuk kebenaran yang diyakini. Sebagai anak proklamator saya meyakini 100 persen, dengan ajaran bung karno, tidak akan berhenti berjuang. Akan kami teruskan. Satu-satunya solusi cita-cita proklamasi.

Kami masih menyiapkan lagi petisi yang lebih komprehensif lagi untuk diserahkan ke MPR. Perlu diingat, NKRI akan jadi negara federalis dengan sistem liberalis kapitalis, ini berten­tangan dengan paham-paham Bung Karno.

Ada komunikasi dengan Mega ketika Anda ditangkap, atau setelahnya?
Nggak ada.

Dengan pemerintah?

Nggak ada juga. ***

Ganjar Pranowo Dilaporkan ke KPK, Apakah Prediksi Fahri Hamzah Terbukti?

Sebelumnya

Apple Kembali Alami Kenaikan Pendapatan, Kecuali di China Raya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa