post image
KOMENTAR
Selama membela panji PDI Perjuangan,  Tarmidi Suhardjo adalah kader yang luar biasa. Ia bukan kader kos-kosan di tubuh partai besutan Megawati Soekarnoputri itu.

Menurut jurnalis senior Teguh Santosa, sepak terjang Tarmidi dimulai sejak pertama kali PDI (PDIP) lahir dari fusi beberapa partai di tahun 1973. Waktu itu, katanya, dia cuma penggembira.

"Lima tahun kemudian dia dipercaya pendukungnya menduduki kursi Ketua Ranting PDI Kebun Pala, sampai tahun 1983," sambung Teguh, Rabu (10/10).

Sukses memimpin Anak Ranting Kebun Pala, sambung Teguh, Tarmidi kembali dipercaya pendukungnya menjadi Ketua Pengurus Anak Cabang Kramat Jati, Jakarta Timur. Posisi itu kembali dilakoninya selama lima tahun sampai tahun 1994.

"Kerja kerasnya membangun PDI di Kramat Jati berbuah kursi Ketua DPC PDI Jakarta Timur antara tahun 1994 sampai 2000. Antara tahun 1993 dan 1994 terjadi perubahan besar di tubuh PDI. Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, Desember 1993 yang berakhir deadlock melahirkan Mega sebagai ketua umum. Dalam Munas 1994 di Jakarta, posisi Mega diperkuat para pendukungnya. Sementara kubu Soerjadi tetap mengklaim sebagai pemimpin PDI yang sah," jelas Teguh.

Tanggal 27 Juli 1996 terjadi peristiwa berdarah, ribuan massa PDI Mega dan PDI Soerjadi bentrok memperebutkan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Ini bukan konflik internal PDI semata. Pemerintahan Soeharto dipercaya banyak kalangan melibatkan diri secara aktif dalam perpecahan itu.

"Tarmidi ada di sana, bersama kader partai banteng pro Mega lainnya, misalnya Roy BB Janis dan Soetardjo Soerjoguritno," imbuhnya.

“Malam harinya saya ke rumah Mbak Mega, di Kebagusan. Sejak hari itu sampai kini, seingat saya, dia tidak pernah mengunjungi gedung itu. Melewatinya pun kabarnya ogah,” cerita Tarmidi suatu kali dan diceritakan ulang oleh Teguh.

Yang jelas, peristiwa 27 Juli mengatrol nama Mega habis-habisan.

Dalam Pemilu 1999 PDIP menang. Tak lama, di tahun 2000 Tarmidi dipercaya para pendukungnya di Jakarta sebagai Ketua DPD PDIP DKI Jakarta. Mestinya posisi itu baru berakhir tahun 2005 nanti.

Tapi ironisnya, politik ya politik. Tidak ada teman abadi. Kata banyak orang, yang ada hanya kepentingan abadi. Dan bagi Mega, Tarmidi cuma seorang teman biasa. Sementara bagi Tarmidi, Mega dengan embel-embel Soekarnoputri, adalah cita-cita dan harapan.

Karena hanya teman biasa, wajar bila suatu kali Mega mencampakkan Tarmidi. Dan itu yang terjadi. Dengan alasan tertentu yang sampai kini tidak jelas, Mega mendepak Tarmidi dalam pemilihan Gubernur DKI tahun lalu. Dia memilih bekas Pangdam Jaya Sutiyoso. Padahal, Tarmidi telah mengantongi restu pencalonan dalam Rakerdasus DPD PDIP DKI Jakarta. Rakerdasus itu sendiri digelar atas perintah DPP PDIP.

Dukungan Mega ini mengundang protes dari anggota dan simpatisan PDIP. Bagaimana mungkin Mega mendukung Sutiyoso yang mestinya ikut bertanggung jawab atas peristiwa 27 Juli, kata mereka. Demonstrasi digelar berhari-hari untuk menentang keputusan Mega. Tapi Mega tak peduli. Akhirnya Sutiyoso menang.

Bagaimana dengan Tarmidi? Sebagai ganjaran, Tarmidi dicopot dari posisi Ketua DPD PDIP DKI Jakarta akhir tahun 2002. Dia dinilai tidak menuruti perintah DPP.

“Perintah DPP yang mana? Yang saya tahu, sebagai anggota partai, saya mesti melindungi kehormatan partai. Partai yang punya kursi cuma dua saja mencalonkan kader sendiri. Masa PDIP tidak,” ujar Tarmidi usai pemilihan.[rmol/hta]

Ganjar Pranowo Dilaporkan ke KPK, Apakah Prediksi Fahri Hamzah Terbukti?

Sebelumnya

Apple Kembali Alami Kenaikan Pendapatan, Kecuali di China Raya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa