post image
KOMENTAR
MBC. Perkara korupsi pengurusan izin penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol yang menyeret pengusaha Siti Hartati Murdaya dan bekas Bupati Buol Amran Batalipu cacat sejak awal. Kasus ini kasus sumbangan Pilkada tapi kemudian dimodifikasi sebagai kasus suap.
 
"Semua proses persidangan membuktikan bahwa ini adalah kasus pemberian sumbangan untuk pemilukada, bukan penyuapan seperti dakwaan jaksa," kata Hartati lewat pengacaranya, Dodi Abdul Kadir kepada Rakyat Merdeka Online (grup medanbagus.com), sesaat tadi, Rabu (8/1).
 
Dia berharap majelis hakim yang menangani kasus kliennya melihat dengan jeli duduk perkara sebenarnya. Tidak semua yang disidangkan di pengadilan Tipikor harus diputus bersalah lantas dihukum. Apalagi jika fakta-fakta di persidangan memang menunjukkan tidak ada pelanggaran hukum sebagaimana dakwaan jaksa.

Kesalahan yang dilakukan KPK, yakni sejak KPK menangkap Amran Batalipu yang sedang kampanye untuk maju lagi dalam pemilukada, dimana saat itu Amran tidak dalam kapasitas sebagai bupati, tetapi dalam kapasitas sebagai pribadi seorang peserta pemilukada.
 
"Kalau semua incumbent yang menerima sumbangan bisa dituduh menerima suap dan ditangkap KPK, maka semua calon bupati, semua calon gubernur, bahkan calon presiden incumbent bisa ditangkap dong," katanya.
 
Ditambahkan, KPK tidak berhak menangkap Amran Batalipu yang saat itu statusnya sebagai calon bupati incumbent. KPK memang berwenang menangkap penyelenggara negara, tapi kalau dia dalam kapasitas sebagai pribadi calon di pemilukada, itu bukan kewenangan KPK. Karena sudah terlanjur menangkap dan KPK tidak boleh mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian perkara) maka, pemberian sumbangani itu lalu dikait-kaitkan dengan permohonan surat perizinan lahan PT HIP di Kabupaten Buol yang lantas menyeret nama Hartati Murdaya.
 
Hartati Murdaya sepenuhnya adalah pihak yang ditarik-tarik dalam kasus ini. Jaksa mendakwa Hartati memberikan uang untuk memuluskan perizinan perkebunan sawit PT HIP. Padahal perusahaan tersebut tidak butuh perijinan baru karena perijinan yang ada sejak tahun 1993 masih berlaku syah. Perusahaan dalam posisi tidak ada kepentingan untuk mengurus perijinan baru.

Dalam proses persidangan semuanya terbuka dengan jelas bahwa kasus ini adalah masalah sumbangan pilkada. Dalam UU disebutkan calon bupati incumbent sekalipun sedang menjabat sebagai bupati status hukumnya adalah pribadi bukan penyelenggara negara.
 
"UU memperbolehkan calon bupati menerima sumbangan dari perorangan ataupun badan hukum. Karena itu legal, pemberian sumbangan itu tidak bisa dipidanakan, kalaupun ada pemberian yang melebihi batas maka yang diterapkan adalah sanksi pidana pemilu, bukan pidana korupsi," kilah dia. [dema/rmol/ans]

Polsek Hamparan Perak Tangkap Remaja Diduga Geng Motor

Sebelumnya

Anak Dan Ayah Keroyok Warga Hingga Tewas Di Medan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Kriminal