post image
KOMENTAR
MBC. Terkait mutu layanan PLN yang terus memburuk, telah membuat konsumen kesal bahkan geram. Kekesalan konsumen makin mengkristal, karena di satu sisi, kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) secara periodik terus dilakukan dilakukan, tetapi di sisi lain, konsumen tidak (belum) mendapatkan kontra-prestasi memadai berupa peningkatan mutu layanan, dari PLN.

''Konsumen, tidak dapat akses, apakah TTL yang ada saat itu sudah cukup menguntungkan atau belum. Atau hanya cukup untuk memberikan layanan yang ''pas-pasan'' bahkan terburuk,'' kata Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Medan dalam siaran persnya yang diterima MedanBagus.Com sesaat lalu.

Menurut Farid, sekiranya dilihat dari pendekatan krisis listrik, keadaan sudah sangat kritis. Bahkan, kata dia, sudah pantas disematkan status jelang kiamat kelistrikan di Sumatera Utara.
''Masalah kelistrikan di Sumatera Utara sesungguhnya sudah tidak lagi sekadar defisit daya, tapi telah masuk katagori defisit moral. Betapa tidak ada, tidak ada kebijakan cerdas dan solusi terukur dari pengelola PT PLN untuk dapat menuntaskan krisis listrik.''

Urgensi kapasitas energi listrik, sambung Farid lagi, sangat vital dalam menggerakan roda industri, perkantoran, lalu lintas, keberlanjutan pendidikan dan aktivitas kerumah-tanggaan. Energi listrik itu merupakan penyangga utama guna mempercepat inovasi dan aplikasi teknologis pada berbagai kegiatan produktif masyarakat.

''Sebenarnya ada kebijakan pemerintah, dengan membuat ''standarisasi'' layanan PLN dengan indikator bernama Tingkat Mutu Layanan PLN (TMP), layak diberikan apresiasi. Ditjen LPE memberikan mandat, agar PLN secara deklaratif menyampaikan ''13 indikator'' sebagai implementasi TMP, dengan 3 indikator (kesalahan baca meter, lamanya gangguan dan jumlah gangguan) dikenakan penalti, jika PLN melanggar batas maksimum yang ditentukannya sendiri.''

Dia menambahkan, menurut norma Keppres RI Nomor  104  Tahun  2003, Pasal 3 ayat (2) jo Kepmen ESDM Nomor: 1616 K/36/Men/2003, Pasal 6 ayat (3) berbunyi; ''apabila standar mutu pelayanan pada suatu sistem kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khususnya yang berkaitan dengan lama gangguan, jumlah gangguan, dan atau kesalahan pembacaan meter tidak dapat dipenuhi, maka Perusahaan Perseroan (Persero) PT PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen yang bersangkutan, yang diperhitungkan dalam tagihan listrik pada bulan berikutnya''.

''Penetapan hukum seperti itu telah tergolong sebagai upaya mengikat PLN agar terdorong terus menerus melakukan perbaikan dan bagi konsumen ada pijakan norma untuk menuntut hak akibat adanya pelanggaran kontrak. Harus dipahamkan ganti rugi menurut norma itu bukan soal nominal atau besaran ganti ruginya. Tetapi berfungsi sebagai tanda PT PLN harus bertanggungjawab atas kinerja pelayanan yang luar biasa buruknya.''

Tidak itu saja, dalam kasus yang merugikan konsumen listrik, PT PLN, ulas Farid yang juga Dekan Fakultas Hukum UMSU itu, mestinya merealisasikan Keppres RI Nomor  104  Tahun  2003, Pasal 3 ayat (2) jo Kepmen ESDM Nomor: 1616 K/36/Men/2003, Pasal 6 ayat (3) jo SK Dirjen LPE No. 114 Tahun 2002 yang menetapkan konsumen berhak mendapatkan kompensasi (ganti rugi) sebesar 10% dari biaya beban apabila terjadi pemadaman dan/atau salah catat meteran (terlepas dari nominal penalti).

''Cuma informasi tentang keberadaan tingkat mutu pelayanan (TMP) itu tidak disampaikan melalui media yang mudah dikenal publik. Sangat terasa nuansa relasi konsumen-PLN ada diskriminasi atau ketidak-adilan hukum, karena informasi yang ada disembunyikan. Ditutup rapat agar penegakan kewajiban dapat terus diabaikan PLN. Karena itu pemerintah harus membuat formula kompensasi memuaskan sebagai tanda masih ada yang bermartabat di negeri ini.'' [ded]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas