MBC. Nasib petani tebu tak semanis rasa tebunya. Ratusan ton gula hasil tanam mereka harus numpuk di lumbung-lumbung karena kalah harga dengan gula impor. Dirut PT Rajawali Nisantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro menyebut, kondisi ini sebagai lonceng kematian bagi petani tebu lokal dan perubahan gula BUMN.
Menurut Ismed, seperti yang dilansir Rakyat Merdeka Online, Minggu (5/1/2014), gara-gara serbuan impor, harga gula di pasaran anjlok sampai Rp 8.600-Rp 8.700 per kilogram. Padahal, harga yang ideal untuk para petani dan perusahaan gula BUMN adalah Rp 9.500-Rp 10.000. Dengan anjloknya harga ini, RNI memilih tidak menjual gulanya dulu ke pasaran.
"Bukannya nggak laku, tapi saya tahan dulu, nunggu harga bagus. Kalau dijual Rp 8.600, kita nggak untung. Sama pajak saja habis," ujarnya Ismed.
Gara-gara harga yang anjlok, RNI terpaksa menimbun gula hasil produksinya di gudang sebanyak 130 ribu ton plus 100 ton gula hasil pembelian dari petani. Tapi kalau harga tidak naik-naik, gula tersebut terpaksa dilepas juga.
Ismed sangat menyesalkan hal ini. Harusnya gula rafinasi alias gula mentah hanya untuk industri. Tidak boleh masuk ke pasar rumah tangga. "Ini lonceng kematian bagi para petani tebu dan perusahaan gula BUMN. Petani akan terkubur dan kebun tebu jadi kuburan massal," ucapnya.
Dia pun menangih janji pemerintah yang sering berkoar-koar memastikan gula rafinasi tidak akan masuk pasar domestik. "(Pemerintah) harus segera mengambil langkah konkret. Jangan cuma janji-janji. Masa gula rafinasi masuk pasar besar buat dibeli langsung masyarakat,” pintanya.
Ismed menegaskan, pemerintah harus menindak para importir nakal dan para mafia gula. Aksi mereka menjual gula rafinasi ke pasal domestik jelas menyengsarakan pada petani gula.[rmol/hta]
KOMENTAR ANDA