post image
KOMENTAR
Badan Pengkajian (BP) MPR RI harus menghasilkan kajian perundang-undangan yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan politik.

Untuk itu, BP MPR RI akan melakukan kajian sebaik-baiknya agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, akademis, dan tidak sampai bermasalah secara yuridis dan politis. Namun, mengenai kapan perubahan atau amandemen itu akan dimulai, BP MPR RI masih akan mengkaji lebih mendalam dan diharapkan tahun 2016 bisa disempurnakan.

Hal ini diaktakan Kepala Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono dalam dialog pilar negara ‘Pancasila Sebagai Sumber Hukum dan Hierarki Sistem Perundang-undangan’ di Gedung MPR RI Jakarta, seperti dilansir dari rmol.co, Senin (9/3) .

"Seperti visi dan misi ekonomi Presien RI Jokowi  yang dikenal sebagai ‘Trisakti dan Nawacita’, jika misi itu mau diwujudkan maka dari pusat sampai daerah harus sama. Jika misi ekonomi Gubernur, Bupati dan Walikota berbeda, tentu akan terjadi tumpang-tindih misi perekonomian bangsa ini. Kalau kepala daerahnya dari PDIP, tapi yang lain dari Golkar, Demokrat, PKB, PPP dan lainnya, apakah akan mempunyai misi yang sama? Pasti akan berbeda-beda. Itulah antara lain yang akan dikaji dan menjadi tugas BP MPR RI,” tegasnya.

Dikatakannya, tugas BP MPR RI tersebut sesuai UU Nomor 4 tahun 2014, yaitu BP MPR RI selaku rekomendasi MPR RI periode 2009-2014 agar MPR RI melakukan kajian dan penataan melalui amandemen UUD NRI 1945.

"Ada tiga konsep pengkajian tersebut yaitu, Bahwa UUD NRI 1945 ini sebagai perangkat penting untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun tidak sekadar merubah tapi menyempurnakan. Ada yang menginginkan perubahan UU NRI yang sudah dilakukan empat kali itu dijalankan terlebih dahulu. Ada kelompok masyarakat yang ingin kembali pada UU NRI 1945 sebelum diamandemen.Karena itu BP MPR RI, menurut Bambang, harus melakukan kajian serius dari tiga kelompok masyarakat tersebut," jelasnya.

Selain itu, katanya, yang ditemukan di tengah masyarakat adalah tetap mempertahankan Pancasila, ada yang menginginkan hadirnya kembali GBHN, dan ada yang tetap mempertahankan TAP MPR RI. Seperti pro kontra terhadap tafsir ‘Pembukaan UUD NRI 1945 khususnya yang terkait dengan Pilkada, yang dilakukan secara demokratis. Itu artinya bisa langsung dan atau oleh DPRD. Karena itu, masalah tersebut bisa ditafsirkan melalui TAP MPR RI,” katanya.

Bahkan UU Nomor 6 tahun 2013 tentang Desa misalnya, ternyata sama sekali tidak menyebutkan Pancasila, sila-sila Pancasila, dan juga nilai-nilai Pancasila. Semuanya tidak disebutkan dalam UU yang mengamanatkan setiap desa akan mendapatkan Rp 1 miliar per tahun itu. [ben/rmol.co]

Ganjar Pranowo Dilaporkan ke KPK, Apakah Prediksi Fahri Hamzah Terbukti?

Sebelumnya

Apple Kembali Alami Kenaikan Pendapatan, Kecuali di China Raya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa