
Sekelompok orang berbaju loreng hijau ala tentara, tampak mengerubungi gundukan tanah di Pulau Buaya, Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di kedua tangan mereka, tergenggam cangkul, dan alat penggalian sederhana lainnya. Mereka kemudian menggali gundukan, menggunakan alat-alat tersebut.
Tidak berapa lama, tampak sesuatu di dalam tanah yang tidak begitu dalam. Ada sebuah benda yang bentuknya tidak wajar tertimbun tanah. Begitu orang-orang itu menggali lebih dalam, ternyata tampak bentuk seperti kerang atau kima.
Benda yang seperti kerang tersebut dipastikan sebuah fosil. Tapi bukan fosil kerang biasa. Ukuran fosil kerang itu ekstra besar. Panjangnya sekitar 100 centimeter (cm), sementara lebarnya mencapai 30 cm.
Yang lebih mengherankan, fosil kerang tersebut ditemukan di daerah yang ketinggiannya 300 meter dari permukaan laut (mdpl). Lokasinya yang begitu tinggi dari permukaan laut memunculkan asumsi tidak mungkin manusia memindahkan fosil kerang tersebut ke daratan. Itulah yang sedang ditelusuri Tim Flora-Fauna Ekspedisi NKRI Koridor Bali-NTT.
"Usia fosil kerang itu sedang diperiksa, bisa jadi ribuan tahun atau malah ratusan ribu tahun," ujar Kabagops Tim Ekspedisi NKRI dari Kopassus, Letkol Infanteri Yuri Elias Mamahi.
Kopassus tidak hanya menemukan satu fosil kerang di Pulau Buaya tersebut. Ada pula beberapa fosil dengan berbagai jenis yang ukurannya juga di luar kewajaran. Misalnya Tubipora, Acropora, dan Favites. "Pertanyaan yang muncul, mengapa bisa ada fosil kerang di daerah pegunungan seperti itu?" ucapnya.
Untuk menelisiknya, tim tersebut mendatangkan anggota Tim Ahli Flora-Fauna Ekspedisi NKRI Donan Satria Yudha. Dia pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Dengan begitu, kondisi geografis Pulau Buaya dipelajari untuk menguak misteri adanya fosil kerang di daerah yang tinggi.
"Tim ini tidak bekerja sendirian. Kami juga mengajak para akademisi," kata dia.
Pada dari pertama, observasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Di dekat Pulau Buaya itu diketahui ada Pulau Pura. Di pulau tersebut ternyata terdapat Gunung Api Maru yang tidak aktif. Di gunung itu pula ditemukan lagi fosil kerang. "Ketinggiannya 140 mdpl," ujar Yuri.
Dengan temuan tersebut, dapat diprediksi, Pulau Buaya dan Pulau Pura merupakan dasar laut yang terangkat ribuan tahun lalu. Sehingga banyak makhluk dasar laut yang ikut terbawa dan menjadi fosil. "Tapi, ini masih harus diteliti terlebih dahulu. Kalau sudah ada hasil penelitian, baru bisa dipastikan. Termasuk fosil kerang tersebut," paparnya.
Tapi, Kopassus dan para ahli tidak berhenti di situ. Tim Ekspedisi NKRI merancang pertemuan dengan Bupati Alor Amon Djobo. Pertemuan itu bukan hanya untuk melaporkan adanya temuan fosil kerang raksasa, tetapi juga untuk menyampaikan gagasan yang muncul dari para pembela NKRI itu, yakni membuat konservasi fosil kerang dan objek pariwisata. Pertemuan itu berlangsung lancar.
"Ya, kami tidak sekadar meneliti, tapi juga menggali potensi wisatanya. Dengan begitu, daerah juga bisa terbantu mengetahui setiap potensi yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat," jelasnya.
Anggota Tim Ekspedisi NKRI berjumlah 1.227 orang yang terdiri atas Kopassus TNI-AD, Polri, akademisi, dan mahasiswa. Mereka menyebar di sejumlah subkorwil, di antaranya Karangasem, Lombok Timur, Sumbawa, Bima, Sumba Barat Daya, Ende, dan Belu.
"Tim dibagi untuk bisa menjelajah dan mengetahui potensi setiap daerah," ujarnya.
Masih di Alor yang masuk subkorwil NTT, sejumlah anggota tim mencoba mendeteksi kemungkinan potensi lain. Mereka bekerja sama dengan warga sekitar untuk mengetahui kemungkinan adanya sesuatu yang baru. "Akhirnya ada yang bersama nelayan mencoba berlayar mencari ikan di sekitar Alor," ucapnya.
Tak disangka-sangka, nelayan dan anggota Tim Ekspedisi NKRI yang menjaring ikan mendapatkan sesuatu. Mungkin ikan atau sejenisnya, namun yang pasti cukup besar. Tangkapan yang saking besarnya membuat nelayan dan anggota tim kesulitan untuk mengangkatnya. Setelah bersusah payah, ternyata sebuah lobster berukuran 1 meter diangkat. "Lobster besar ini cukup menarik untuk diketahui jenisnya," kata dia.
Setelah itu lobster tersebut difoto dan dijadikan contoh untuk dikirim ke laboratorium. Hasilnya, lobster itu merupakan jenis lobster mutiara. "Lobster ini tentu menjadi salah satu temuan yang didata dan bisa dijadikan potensi untuk daerah," ujarnya.
Ada Gua di Pantai Pasir Putih, Belum Terjamah Orang
Selain kerang raksasa dan tumbuhan langka, tim ekspedisi juga menemukan sejenis sukun dengan varian genetis baru di Bima.
Peneliti LIPI yang juga anggota Tim Ekspedisi NKRI, Inggit Puji Astuti mengungkapkan, ada satu temuan yang juga menarik, yakni buah sukun. Sukun itu berbeda dengan biasanya yang bulat. Sukun tersebut lonjong dan cukup besar. "Saya ahli tumbuhan, sejak awal memprediksi ini baru," ucapnya.
Awalnya Inggit melihat di dekat pos tim ekspedisi ada pohon sukun yang berbeda. Setelah diperiksa, ternyata pohon sukun itu secara genetis memiliki perbedaan dari sukun yang lainnya. Ternyata, di Bima sukun seperti itu sudah biasa. Namun, belum ada yang sadar bahwa itu berbeda. "Penemuan ini untuk ilmu pengetahuan sangat berharga," tegasnya.
Dia mengatakan, bila diteliti lebih lanjut, bisa diketahui bagaimana kandungan sukun tersebut. Apakah ternyata tahan hama atau justru protein dan vitamin lainnya lebih tinggi. "Tentu bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," tutur dia.
Bukan hanya itu, Tim Ekspedisi NKRI juga menemukan daerah yang memiliki kandungan mineral berharga. Yuri menambahkan, di sebuah daerah yang tidak bisa disebutkan, tim itu menemukan kandungan mineral. "Setelah dicek sampelnya, dipastikan jumlahnya cukup banyak," katanya.
Menurut dia, temuan tersebut sudah dilaporkan ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal itu tentu bisa digunakan untuk masyarakat. "Kandungan mineral apa saya tidak bisa sebut. Itu nanti bisa membuat hal yang tidak diinginkan terjadi," ujarnya.
Yuri menjelaskan, sebenarnya begitu banyak potensi wisata yang belum tergali di Indonesia Timur. Salah satunya adanya pantai pasir putih dengan gua di pantainya.
"Daerahnya saya lupa. Tapi, temuan pantai tanpa nama ini bisa menjadi objek wisata yang sangat menarik. Bahkan, kalau dibandingkan dengan Bali, keindahannya setara," paparnya.
Sebelum Berangkat Tim Ekspedisi Dilatih Kopassus 2 Minggu
Komando Pasukan Khusus (Kopassus) kembali terlibat Ekspedisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ekspedisi NKRI 2015 ini dilakukan di Kepulauan Nusa Tenggara. Ekspedisi NKRI 2015 merupakan kelanjutan Ekspedisi Bukit Barisan 2011 di Sumatera, Ekspedisi Khatulistiwa 2012 di Kalimantan, Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013 dan Ekspedisi NKRI Koridor Maluku dan Maluku Utara 2014.
Ekspedisi NKRI Koridor Kepulauan Nusa Tenggara 2015 digelar Januari-Juni 2015. Materi ekspedisi berupa penjelajahan, penelitian (kehutanan, geologi, potensi bencana, sosial budaya dan soal komunikasi sosial. Sebelum berangkat, peserta ekspedisi mendapatkan pembekalan selama dua minggu.
Pelatihan diberikan para tim ahli dan pelatih di Batujajar dan Situlembang. Selesai menerima pembekalan, peserta ekspedisi akan ditempatkan di 8 subkorwil yakni Subkorwil Karangasem , Lombok Timur, Sumbawa, Bima, Sumba Barat Daya, Ende, Alor, dan Belu.
Kegiatan ini dilakukan atas dasar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 2014, tentang Panitia Nasional Penyelenggara Ekspedisi NKRI Koridor Kepulauan Nusa Tenggara Tahun 2015.
Kepres itu menyebutkan, tujuan pelaksanaan ekspedisi ini adalah untuk membantu pemerintah, dalam upaya mewujudkan sembilan agenda prioritas, atau yang dikenal dengan Nawacita. Kegiatan Ekspedisi NKRI 2015 melibatkan 26 Kementerian/Lembaga di bawah koordinator Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).
Komandan Jendral (Danjen) Kopassus, Mayjen TNI Doni Monardo selaku komandan ekspedisi mengatakan, kegiatan ekspedisi tahun ini tidak berbeda jauh dengan kegiatan ekspedisi sebelumnya meliputi tiga aspek utama, yaitu aspek penjelajahan, penelitian, dan aspek pengabdian masyarakat.
Aspek penjelajahan meliputi kegiatan penjelajahan gunung, hutan rawa dan sungai,penjelajahan garis pantai serta penjelajahan perbatasan Indonesia dengan RDTL(Republic Democratic Timor Leste). Aspek penelitian mencakup kegiatan pendataan dan pemetaan di bidang kajian kehutanan geologi potensi bencana, flora fauna, serta sosial budaya.
"Sedangkan aspek pengabdian masyarakat akan difokuskan pada kegiatan pelestarian alam, peningkatan wawasan kebangsaan dan bela negara, penyuluhan Keluarga Berencana (KB) dan keluarga prasejahtera, bakti sosial dalam rangka untuk membantu percepatan pembangunan di wilayah," kata Doni. [hta/rmol]
KOMENTAR ANDA