post image
KOMENTAR
Entah hanya sebuah kebetulan atau tidak, dua mahasiswa Universitas Sumatera Utara mengakhiri hidup dengan cara yang tragis sepanjang bulang lima tahun 2015 ini.

Kejadian gantung diri pertama adalah Mario Sianipar (21),mahasiswa semester IV yang terdaftar di Fakultas Pertanian USU.

Ia ditemukan sudah tak bernyawa akibat jeratan seutas tali nilon di kamar ruko, Jalan Damar, Kelurahan Sei Putih I, Kecamatan Medan Petisah.

Mario Sianipar diduga mengalami frustrasi setelah orang tuanya sakit keras di saat adiknya masih akan menghadapi jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Sahabat korban bernama Setiawan, jadi saksi pertama yang menemukan jasad tanpa jiwa milik Mario. Kala itu dirinya  mendapat firasat buruk sesaat sebelum kejadian.

“Dia (Mario) mengirim aku sms. Begitu aku baca sms-nya, aku langsung ke tempat dia. Isi pesan terakhir Mario pada Setiawan mirip wasiat. Ia berpesan agar Setiawan menjaga adiknya karena ia berencana akan “pergi jauh. Tapi aku terlambat, dan dia sudah terlanjut menggantung dirinya,” sesal Setiawan kala itu.

Tragedi bunuh diri mahasiswa Universitas terbesar se-Sumatera Utara itu mencetak hattrick, ketika seorang mahasiswi Fakultas Hukum USU bernama Elpiana Ambarita tewas gantung diri, Senin (18/5/2015).

Mahasiswi berparas cantik yang berasal dari Parapat itu tercatat sebagai angkatan tahun 2013 dan memiliki prestasi akademis yang sangat baik yang dibuktikan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) terakhir mencapai angka 4.00. Ia juga tercatat pernah mengikuti pertukaran mahasiswa nasional di Makassar.

Menurut Direktur Minauli Consulting Layanan Psikologi, Irna Minauli mengaku, paradigma terjadinya bunuh diri yang dilakoni para remaja akhir-akhir ini, karena mereka kurang mampu dalam mengelola stres.

“Saya rasa mereka masih kurang mampu dalam mengelola stres yang dialaminya. Sehingga cenderung melakukan jalan pintas dengan bunuh diri sebagai cara mereka melepaskan diri dari masalahnya. Pribadi mereka masih rapuh, sehingga kejadian yang tidak menyenangkan seperti putus cinta, dimarahi orang tua, dianggap seperti peristiwa besar yang menghancurkan image mereka sebagai pribadi,” terangnya.

Untuk itu, remaja perlu belajar untuk mengatasi masalah secara konstruktif. Mereka perlu menjadi pribadi yang tangguh. Permasalahan yang dialami jangan dianggap sesuatu yang menghancurkan dirinya, tetapi sebagai bentuk pengalaman berharga bagi perkembangan dirinya.

"Mereka perlu belajar untuk melihat alternatif dari masalah yang dihadapinya. Misalnya ketika dia putus cinta, mereka harus melihat alternatif lainnya seperti pengalihan bentuk kesedihannya dengan belajar lebih tekun atau bersibuk diri dengan mengikuti kursus-kursus. Atau melihat calon pengganti lain dengan cara move on," ujar wanita yang berkantor di Jalan DI Panjaitan ini.

Dijelaskannya, hidup harus terus bergerak, permasalahan yang dihadapi tidak harus menghentikan masa depannya. Mereka melampiaskannya dengan melukai dirinya sendiri dengan cara bunuh diri. Dengan bunuh dirinya ia ingin supaya orang yang menyebabkan kesedihanya itu kemudian menyesali perbuatan mereka terhadap dirinya.

Hal itu mungkin bisa dianggap sebagai suatu bentuk egoisme karena mereka cenderung memikirkan diri sendiri. Mereka tidak mempedulikan kesedihan dan rasa malu yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkannya.

"Mereka juga perlu diajarkan mengatasi masalah secara baik. Mereka perlu berbagi dengan orangtua atau temannya karena kebanyakan pelaku bunuh diri adalah orang yang merasa kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungannya. Mereka merasa tidak ada orang yang memahami dirinya, merasa kesepian dan tersendiri. Tersendiri dalam artian teralienasi sehingga mereka merasa asing dalam lingkungannya," pungkasnya. [ben]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Komunitas