post image
KOMENTAR
…KASIHMU sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
matahari - bukan kawanku....[1]


 

MALAM masih membebat kesunyian hutan ini. Meskipun api menyala dengan besarnya, tapi tak bisa menghalau dingin yang menyeruak masuk hingga ke sumsum tulangku. Ku geser dudukku dan meraih sepotong kayu lagi. Ku lemparkan, dan menyambarlah lidah api sampai ke langit. Baranya melayang seperti bintang berpijar, kadang-kadang juga seperti kunang-kunang.

Semakin dingin ketika cerocosan jangkrik terus bersahut-sahutan. Cuping hidungku sudah basah oleh embun. Angin masih santer saja bertiup mengitari kepalaku. Pesta api belum selesai, dan agaknya tak akan selesai sampai esok hari menjeleng terang.

Sebenarnya malam ini aku tak ikut berburu. Karena sore tadi aku baru aja memindahkan seseorang dari sebuah tempat di tengah hutan ini. Aku sudah minta pada izin pada Pak Ketua sore tadi. Tapi entah mengapa, aku masih saja dipanggilnya dan ditugaskan menjaga orang ini, sendirian pula.

***

Orang itu, dengan ketegaran yang terpancar dari matanya, masih khusu' tepekur menatap tanah. Bajunya setengah tersingkap, kotor dan lusuh. Matanya terlihat semakin cekung, lelah karena mengantuk. Sudah sebelas hari ini dia ku halau seperti kerbau, masuk-keluar hutan. Aku yang paling tahu dia, setidaknya setelah memasuki hari keduabelas kami bersama.

Wajahnya pucat. Kulitnya lebih hitam dari hari pertama dia kami tangkap. Tangannya terikat. Kadang-kadang dia meminta tolong agar ikatan tangannya dilepas. Aku sempat marah, ketika hari pertama, dia meminta agar tali yang mengikat tangannya dibuka, dengan alasan mau shalat. Bagiku itu hanya menambah pekerjaanku.

Yah, awalnya aku memang senang melakukan pekerjaan seperti ini; masuk ke rumah para bangsawan, mengobrak-abriknya, kemudian membakar rumah para borjuis yang telah menyebabkan kami sengsara. Apalagi kalau aku dan kawananku berhasil membawa si empunya rumah. Aku akan sangat bangga untuk menghantamkan tinjuku kepada kolaborator kolonial Belanda.

Tapi untuk lelaki ini, entah mengapa aku enggan untuk menghujamkan tinjuku ke wajahnya. Tatapannya yang tajam bila menatapku terasa sejuk dan damai. Aku selalu terlena untuk beberapa saat setiap kali dia meminta tolong padaku, agar tali ikatan tangannya dibuka. "Saya mau salat," dan aku seperti menurut saja.

Selesai salat, dia dengan sukarela menyerahkan tangannya untuk kembali ku belenggu. Senyumnya mengembang, dan aku jadi semakin gentar dengan orang ini.

Lantas lelaki itu kembali duduk, dia membuang wajahnya ke langit. Pungguk melayang-layang di atas langit kami. Aku menambahkan gelondongan kayu ke mulut api. Bara berhamburan. Aku menatap dia. Dia semakin khusu'. Seolah dingin tak membuatnya gentar, bahwa sesaat lagi dia akan dieksekusi.

Kabarnya orang ini sangat terpelajar, entahlah, aku tak pernah berpikir tentang apa itu terpelajar. Tapi kabarnya dia menamatkan sekolah hukum di tanah Jawa. Aku tak akan heran bila dia belajar dan menamatkannya di pulau Jawa. Toh dia adalah seorang borjuis dan kolaborator penjajah. Seharusnya aku tak kasihan apalagi iba melihat dia.


…Sampaikan rinduku pada adinda
bisikkan rayuanku pada juita
liputi lututnya muda kencana
serupa beta memeluk dia. ..[2]



Kadang-kadang aku berpikir, kalau sebenarnya aku ini terlalu berbaik hati padanya. Atau ini seperti sudah ditakdirkan Tuhan, bahwa selama kami bersama, kami akan menjadi teman, paling tidak terlihat seperti teman. Sebuah hubungan dimana satu pihak melenyapkan pihak lainnya.

Aku belum mengenal dia, ketika pada suatu malam, sebuah perintah datang menghampiriku. "Di Aceh sudah meletus perlawanan terhadap tuan tanah. Rakyat telah merebut kekuatan mereka. Keluarga bangsawan sudah terkepung oleh kekuatan rakyat," kata Pak Ketua.

"Demi berdirinya negara kita, merdeka!" pekik semua pemuda pada malam itu. Aku pun ikut dalam rombongan. Dan ikut memekik "Merdeka!"

Sejak malam itulah, kami menjadi haus darah tuan tanah, yang kata Pak Ketua telah menghisap darah kami, bahkan ketika kami masih orok.

Maka pada malam itu aku ikut operasi untuk kesekian kalinya. Sesuai perintah Pak Ketua, kami harus membersihkan rumah Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat. Dan dari sanalah orang ini. Orang yang ada di hadapanku sekarang ini berasal. Lelaki yang tengah khusu munajat pada khaliknya. Seolah paham betul setiap saat maut bisa saja datang menjemputnya.


***


Ketika itu aku cuma tahu kabar angin, bahwa wakil pemerintah RI untuk Langkat itu baru saja berada di rumahnya. "Dia orang sibuk, sibuk menjual bangsanya pada Belanda, sehingga jarang ada di rumah." bisik Pak Ketua.

Kami mengintai rumahnya sejak lepas asar. Pada saat pengepungan banyak dari kami yang tak mengenal wajahnya. Sehingga selalu ragu untuk mulai bergerak. Tentunya ini tidak mengherankan, sebab sedikit sekali di antara kami yang membaca koran, apalagi pergi ke kantor pemerintahan.

"Mungkinlah, samar-samar dan tidak jelas juga. Saya cuma sekali melihat dia," jawab Komandan Regu yang memimpin operasi malam itu.

…Kalau subuh kedengaran tabuh
semua sepi sunyi sekali
bulan seorang tertawa terang
bintang mutiara bermain cahaya…[3]



***

Aku terperanjat ketika Pak Ketua muncul dari balik pepohonan. Tangannya memegang bedil. Dan di sampingnya, si Berngi berdiri dengan golok yang sudah terhunus. Kilatan lidah api menambah seram golok yang telah basah oleh, entah darah entah merah.

Tiba-tiba hari menjadi panas. Tak kurasakan lagi angin menusuk kulitku. Aku memang tak bisa melewati bagian yang ini. Aku memang dilahirkan untuk tidak menjadi pembantai. Aku, aku cuma tahu, kalau aku ini miskin, dan penyebab kemiskinanku adalah orang itu, orang yang sudah tak berdaya namun tetap kurasakan keperkasaannya. Dia lebih tabah dari apa yang kukira.

Aku bangkit dan langsung menggamit lengannya dengan kencang. Lelaki itu tersentak. Dia sedang berontak. Dia sedang berjuang melawan takutnya. Begitu pula aku. Aku tak sanggup menatapnya seperti itu. Wajahnya begitu tabah.

"Siapkan dia," perintah Pak Ketua. Dia dan Berngi kemudian menghilang di balik gelapnya malam.

Delapan pemuda lain masuk dan berdiri di sekitarku.

"Mati sajalah borjuis sekutu iblis," maki salah satu dari mereka.

Sebuah tinju melayang ke arah lelaki itu. Aku menangkis serangan dan mendorong si pemukul ke belakang.

"Ini urusanku, kau boleh urus kerjamu sendiri," gertakku.

Pemuda itu surut ke belakang. Matanya memandang tajam kepada lelaki yang ada di sampingku.

"Nikmatilah saat-saat terakhirmu, Tengku!" geram pemuda itu karena tak dapat memukul 'Tengku'.

Aku bawa lelaki itu beranjak dan pergi, ke suatu tempat, yang asing, tiada suluh sebagai penerang dan pengusir rasa dingin.


Entah mengapa tiba-tiba saja aku begitu kasihan kepada lelaki ini. Aku merasa dia bukan orang lain. Dia seperti sepotong dari diriku yang lain. Diri yang selalu rindu pada sesuatu yang dapat menyejukkan jiwa. Aku ingin melepaskan dia. Tapi tak bisa, benar-benar tak bisa. Aku takut, kalau dia kubebaskan, maka dia akan kembali mencariku dengan pengawal-pengawalnya. Siapa tahu, mungkin mereka akan memotongku seperti kambing di hari Idul Adha.

***

Orang ini selalu bercerita. Dia bersyair sepanjang malam, menceritakan cintanya yang tak pernah jelas menurutku. Dia menceritakan hikayat Hang Tuah, perang Barathayudha, Tanah Jawa, Sastra, Budaya Melayu. Sehingga aku bertambah pengetahuan. Sebelas hari menggiring lelaki ini, aku mendapatkan banyak pengetahuan.

"Tapi mengapa kalian tuan tanah, selalu membuat kami susah?" tanyaku pada suatu malam.


…Maka merupa di datar layar
wayang warna menayang rasa
kalbu rindu turut mengikut
dua sukma esa-mesra -

Aku boneka engkau boneka
penghibur dalang mengatur tembang
di layar kembang bertukar pandang
hanya selagu, sepanjang dendang…[4]


***


Hari semakin pagi. Perenjak masih berkoar-koar memecah hening ke gelapan. Dingin tak terasa menembus kulitku. Embun menempel di pipiku, meleleh dan jatuh ke leher.

Tangannya masih terikat kencang, dibebat ke belakang. Lelaki bersimpuh di depan galian sebuah lubang. Mulut komat-kamit. Mungkin sedang membaca ayat suci Qur'an. Mungkin juga menggigil ketakutan.

Bajunya yang lusuh, melambai di udara dan cuaca dingin.

Dia, lelaki itu meminta sebuah pena dan selembar kertas. Dia akan menulis permintaan terakhirnya . Mungkin dia akan menuliskan pembagian warisan, mungkin menulis surat cinta, atau mungkin juga menulis pengakuan dosa. Itu sungguh tak penting bagiku.


Dia paham betul, kalau sesaat lagi dia akan benar-benar bertemu dengan kekasihnya.

 

…Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa…[5]



***


Hari semakin terang. Aku terduduk. Hanya sendiri. Menatap bara api yang berubah habis menjadi abu. Aku merasa semuanya begitu cepat berlalu. Kantuk masih menggantung di tirai mataku. Dingin sudah lama pergi menyiksaku.

Ku keluarkan secarik kertas yang diberikannya padaku dari saku kemeja. Itu adalah tulisan tangannya yang terakhir sesaat sebelum menghadapi eksekusi.

"Aku rindu menulis, kelak suatu saat bila aku bebas, aku akan menulis. Menulis sebuah puisi untukmu," katanya pada suatu ketika.

Aku semakin terpukul ketika membaca sepotong kertas lusuh pemberiannya. Dia tidak menulis pembagian harta warisan, tidak juga menulis surat cinta. Apalagi sebuah pengakuan dosa.


Datanglah engkau wahai maut
bebaskan aku dari nestapa
engkeu lagi tempatku berpaut
di waktu ini gelap gulita.

Kicau murai tiada merdu
pada beta bujang Melayu
himbau pungguk tiada merindu
dalam telinganku seperti dahulu…. [6]



Maafkan aku, Tengku.

 
Dan aku kembali menatap bara api yang perlahan menghilang oleh sinar mentari pagi. Sendiri. Hanya sendiri.

 

Graha Pena, 03-01-06

 


[1] Bait terakhir Padamu Jua, Amir Hamzah
[2] Bait kelima Buah Rindu, Amir Hamzah
[3] Bait pertama Subuh, Amir Hamzah
[4] Bait ketiga dan keempat, Sebab Dikau, Amair Hamzah
[5] Bait ketiga Padamu Jua, Amir Hamzah
[6] Bait pertama dan kedua Buah Rindu, Amir Hamzah 

 

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca