post image
KOMENTAR
SEJATINYA kehidupan sudah kian palsu, jadi tidak perlu lagi upaya untuk memalsukan eksistensinya. Manusia dewasa ini, yang katanya sebagai penghuni peradaban modern malah sangat antusias memalsukan hidup yang sudah palsu ini. Didalam kehidupan palsu ini, manusia berlomba-lomba menciptakan atau sekadar meminjam topeng yang menutupi wajah aslinya.

Salah satu kepalsuan yang cukup kontras tersaji dipermukaan aktivitas manusia adalah penggunaan suara-suara burung sebagai penutup wajah aslinya. Premis pertama yang mendukung pertanyaan tersebut adalah kegemaran manusia menciptakan konspirasi. Konspirasi tersebut diciptakan untuk menutupi keaslian sebuah tujuan. Jika ada sebuah tujuan yang benar dan baik, maka keaslian metode pencapaiannya tidak perlu disembunyikan. Premis kedua adalah perilaku latah meniru cara burung pada saat bersuara. Suara para burung terlalu samar untuk dapat dicerna substansinya, esensi pesannya akan terkikis diterpa angin.

Kepalsuan lain yang menjadi warna aktivitas manusia dewasa ini adalah menjalankan sesuatu yang bukan dirinya (ide). Manusia hanya menggunakan kecenderungan untuk latah mengikuti wacana-wacana yang menyerang alam bawah sadarnya. Ide asli manusia tidak mampu terakomodir untuk ditransformasikan menjadi aktivitas nyata. Segala aktivitas mayoritas manusia menjadi palsu.

Kepalsuan hidup yang dipalsukan ini kemudian mendapatkan panggungnya di Sarinah, simbol ekonomi raksasa tertua di Jakarta. Suara-suara burung dari alat negara dan simbol dari mental follower masyarakat Indonesia tumpah menjadi satu pasca tragedi bom Sarinah. Bukan berbicara tentang siapa pihak yang bertanggung jawab dan bukan berbicara tentang kerusakan apa yang disebabkan tragedi tersebut. Kita sedang membicarakan mental dan kesadaran manusia Indonesia setelah tragedi tersebut.

Indonesia yang masih mengeksistensikan sistem pengkastaan (ada yang super dan ada yang sub), menciptakan dua kepalsuan yang menggambarkan mental dan kesadaran manusianya pada saat merespon tragedi bom Sarinah. Kasta super dieksistensikan oleh alat-alat negara dan kasta sub dieksistensikan oleh masyarakat (sipil).  Kepalsuan yang diciptakan alat-alat negara adalah dengan memanfaatkan tragedi tersebut sebagai senjata untuk menyerang pihak lain, namun yang diperankan di hadapan masyarakatnya seolah-olah menyuguhkan bentuk kepedulian pada nasib negara.

Sedangkan kepalsuan yang diciptakan oleh masyarakat adalah dengan tertunjukkannya bukti bahwa mental nasionalis mereka semu, tergantung pada status quo wacana.

Suara-suara burung yang sering diredaksikan sebagai kabar burung oleh masyarakat adalah kata-kata yang tepat untuk menunjukkan kepalsuan alat-alat negara dalam merespon tragedi tersebut. Layaknya suara-suara burung, pesan yang disampaikan tidak menemui pesan yang utuh. Pesan terpotong-potong hingga nilai substansi yang harusnya dikonsumsi masyarakat atas tragedi tersebut tidak jelas. Ada kecenderungan bahwa alat-alat negara yang tak seharusnya berdikotomi tadi memanfaatkan tragedi tersebut sebagai senjata penyampai pesan untuk menghancurkan karakter lawannya (internal).

Kondisi ideal yang harusnya ada ketika sebuah tragedi menghampiri sebagian atau seluruh wilayah Indonesia, alat-alat negara harus saling bekerja sama untuk mencari apa penyebabnya dan bagaimana mengatasi dampaknya. Namun realita yang terjadi pasca tragedi bom Sarinah seakan menjadi ring tinju alat-alat negara untuk berspekulasi dan berapologi. Jika memang begitu, maka sungguh kasihan masyarakat awam harus mengkonsumsi pertarungan yang tidak dipahami.

 Sedangkan kepalsuan yang dipertontonkan oleh masyarakat Indonesia adalah rendahnya sensitifitas respon pasca tragedi tersebut untuk mengaktualisasikan bentuk dari mental nasionalisnya. Mental nasionalis bukan hanya dieksistensikan melalui pengkultusan simbol-simbol negara, akan tetapi juga menjunjung tinggi nilai pengorbanan untuk setiap komponen di dalam negara ini.

 Ada dua bukti yang bisa dianalisis. Pertama, beberapa masyarakat yang tidak terjebak secara fisik di dalam area tragedi tersebut hanya menjadikan masyarakat yang terjebak sebagai tontonan bak menonton film aksi Hollywood. Kedua, masyarakat Indonesia tidak mampu menciptakan wacananya sendiri demi perbaikan sistem kehidupan bernegara. Hal ini menjadi sesuatu yang tabuh ketika masyarakat Indonesia tidak mengembangkan wacana melindungi Indonesia dari teror.

Ketika masyarakat Indonesia bisa berbondong-bondong meletakkan bendera negara lain (ketika bom Perancis)  pada background akun media sosialnya sebagai bentuk kampanye solidaritas menjunjung stabilitas kedamaian, masyarakat Indonesia juga harus mampu melakukan hal yang sama ketika tragedi bom Sarinah. Bukan tentang simbol, tapi tentang bagaimana kekuatan mental masyarakat Indonesia untuk perbaikan sistem kehidupan bernegara.

Konklusi yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah lemahnya pertahanan materil dan nonmateril Indonesia. Kualitas fisik maupun mental Indonesia sangat diragukan untuk hidup pada sistem bernegara. Alat-alat negara sebagai pihak produktif tidak mampu memproduksi nilai-nilai yang luhur dan masyarakat sebagai pihak konsumtif tidak mampu memilah konsumsi yang bergizi.
 
Indonesia butuh alat-alat negara yang bersinergi dengan satu sama lain dan nilai luhur Indonesia. Negara bukan tentang menjaga status quo kepentingan kelompok tertentu, negara adalah lembaga yang menciptakan dan mengontrol stabilitas  peradaban pada suatu teritorial. Kondisi ideal negara yang terealisasikan akan menciptakan sistem kehidupan masyarakat tanpa kebekuan berpikir, jauh dari hal-hal latah dan sekedar menjadi follower.

#NikmatnyaSeranganFajar
 

 
 

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Serangan Fajar