post image
KOMENTAR
“DEMOKRASI, demokrasi, demokrasi sampai mati”.
Sebuah kalimat yang sering dipekikkan oleh berbagai elemen masyarakat pasca reformasi. Sebuah bentuk dari hegemoni rakyat yang telah menatap konsesi baru, sebuah perubahan besar, melepaskan diri dari rezim orde baru, menuju reformasi.

Gerakan reformasi pada waktu itu dilatarbelakangi oleh semangat untuk  mempromosikan demokrasi. Demokrasi yang dicita-citakan menjadi sebuah sistem untuk pembangunan Indonesia. Pembangunan yang merata, lewat pembagian hak politik yang merata juga.

Apalah daya, cita-cita tidak selalu terwujud dengan sempurna, begitu apologi yang sering diungkapkan oleh setiap manusia. Demokrasi pun kian tak berjalan sesuai dengan esensi dan tujuan luhurnya.

Demokrasi tidak lagi menjadi sebuah sistem, aktualisasinya berubah menjadi sebuah tujuan. Demokrasi tidak lagi memiliki jiwa dan semangat pembangunan nasional. Ada dua faktor yang melatarbelakanginya, internal dan eksternal.

Penulis enggan sedikitpun menyentuh faktor eksternal, sebab ketika coba menyentuhnya hanya akan menimbulkan spekulasi, alibi, dan apologi.

Ada satu hal mendasar yang melatarbelakangi penyimpangan aktualisasi demokrasi dari nilai luhurnya, yaitu mental warga negara Indonesia.

Dewasa ini pemilu, pilkada dan pilpres menguasai wacana dan terkonsumsi untuk sebagian masyarakat Indonesia. Kemudian sebagian masyarakat tersebut menganggap perwujudan dari adanya demokrasi hanya pada pemilu, pilkada dan pilpres. Dari sini sudah dapat diambil sebuah tanda dari kelemahan mental dan pemahaman dalam menginterpretasikan demokrasi, karena demokrasi bukan hanya sebatas itu.

Yang terhangat, kelemahan mental dan pemahaman dalam menginterpretasikan demokrasi tertampilkan pada Pilkada 2015 kemarin. Pilkada yang masih memberikan banyak kisah dan kesan tentang performa bernegaranya sang negarawan dan para rakyat.

Medan adalah kota yang representatif untuk membahas kegagalan pilkada 2015, sebuah rujukan aktual dari lemahnya mental dan pemahaman rakyat tentang demokrasi.  Medan menjadi kota yang memiliki partisipasi paling rendah dalam Pilkada 2015, hanya 25,5 % dari seluruh DPT.

Namun apakah torehan buruk ini mutlak salah penduduk di kota Medan yang memiliki mental dan pemahaman rendah dalam menginterpretasikan demokrasi?
Atau apakah penduduk Medan sudah pesimis dengan pilkada?   
Atau kedua calon walikota dan wakilnya, BENAR dan REDI, memang dianggap tidak ada yang pantas untuk menjadi pemimpin di kota Medan?

Atau bahkan KPU yang tidak becus dalam melaksanakan sosialisasi kepada penduduk kota Medan?
Dalam pencarian jawaban atas empat pertanyaan tersebut, kita akan menjumpai sebuah simpul yang saling terintegrasi dan tidak ada jawaban yang menegasikan jawaban lain.

Bagaimana bisa penduduk kota Medan dapat disalahkan atas rendahnya partisipasi terhadap pilkada? Memang mungkin saja hari ini masih banyak masyarakat yang memiliki mental dan pemahaman rendah dalam berdemokrasi. Kalaulah memang itu yang terjadi, maka yang paling salah atas keadaan ini bukanlah masyarakat. Pemerintah adalah pihak yang paling tepat disalahkan jika kondisi itu yang terjadi. Sebab pemerintah adalah garda terdepan untuk menjalankan nilai luhur demokrasi.

Pesimistis penduduk kota Medan terhadap pilkada itu dapat terjadi karena dua hal, antara mereka telah melihat pelaksanaan demokrasi menjadi cacat atau mereka memang memiliki pemahaman dan mental yang rendah dalam berdemokrasi. Tetap saja, manapun yang menjadi dasar sebenarnya dari pesimistis terhadap pilkada, pada akhirnya tetap mengerucut pada kelalaian pemerintah dalam mengukuhkan nilai demokrasi di Indonesia.

Rendahnya partisipasi terhadap pilkada Medan juga mungkin ditenggarai oleh kenyataan yang menyatakan bahwa menurut mayoritas penduduk kota Medan, tidak ada salah satu dari kedua calon tersebut yang pantas untuk memimpin kota Medan.

Jika kemungkinan ini yang menjadi kebenarannya, apakah memang sudah tidak ada lagi tokoh yang lebih baik untuk menjadi pemimpin kota Medan? Kenapa partai-partai mencalonkan dua calon tersebut, padahal mereka pasti punya lembaga survey pribadi? Pertanyaan yang lebih mendasar, mengapa sistem di Indonesia bisa meloloskan calon-calon tersebut?  

Untuk pertanyaan yang mempertanyakan tentang lemahnya sosialisasi KPU Medan dalam pilkada 2015 juga sempat dijadikan bahan gugatan oleh kubu REDI atas keberatannya akan partisipasi rendah pemilih. Terkait gugatan kubu REDI yangn menuduh KPU Medan sebagai biang dari pastisipasi rendah pemilih, kubu REDI menipu diri sendri disitu. Di setiap sudut kota medan pada masa kampanye dipenuhi berbagai alat peraga kampanye calon walikota dan wakilnya, termasuk milik kubu REDI.

Apakah itu bukan bentuk dari tingginya sosialisasi? Masalah dasarnya tetap bukan ada di kualitas sosialisasi KPU Medan.

Kemungkinan jawaban dari setiap pertanyaan tentang rendahnya partisipasi atas pilkada Medan 2015 memiliki satu benang merah, menjumpai sebuah simpul yang terintegrasi, percis seperti dugaan yang telah disebutkan di atas. Dasar masalah dari cacatnya pilkada Medan 2015 tersebut bukan hal-hal yang bersifat taktis dan operasional baik dari sisi pemilih, yang dipilih, dan pengelola pemilihan. Ada sebuah momok besar, masalah yang sangat strategis. Masalah tersebut adalah tidak berjalannya demokrasi sesuai semangat dan nilai aslinya. Demokrasi bukan lagi menjadi sebuah sistem, itu sudah menjadi tujuan.

Pilkada Medan 2015 dinyatakan sudah selesai oleh KPU Medan, ditandai dengan ditetapkannya BENAR sebagai walikota dan wakil walikota Medan. KPU Medan menetapkan BENAR telah memenangkan pilkada Medan 2015 satu hari setelah putusan dari Mahkamah Konstitusi. Namun kubu REDI terus berupaya untuk mengambil langkah hukum dalam menggugat kekalahannya.

Kedua kejadian tersebut, ditetapkannya BENAR sebagai pemenang pemilu dan lanjutan langkah hukum REDI semakin menguatkan rendahnya aktualisasi yang sesuai dengan nilai luhur demokrasi. Mengapa?

Dengan ditetapkannya BENAR menjadi pemenang pemilu tanpa diikuti dengan investigasi dan evaluasi menyeluruh tentang rendahnya partisipasi  menyimbolkan keapatisan perangkat negara dalam meluruskan aktualisasi dari demokrasi.

Sedangkan dengan aksi gugatan yang belum menemui tanda-tanda berhenti kubu REDI memperlihatkan betapa ambisiusnya prestige dan hasrat politik praktis.

 Gugatannya terus menyalahkan hal-hal yang bersifat operasional, bukan mencari solusi atas cacatnya demokrasi, di Medan khususnya.

Penduduk kota Medan sudah paham akan kondisi demokrasi di Indonesia. Kalau penulis boleh mewakili penduduk kota Medan, penulis akan mengatakan, “Bung, penduduk Medan sudah kapok dengan pilkada!”.

 #NikmatnyaSeranganFajar 

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Serangan Fajar