post image
KOMENTAR
Sejak masa pra sejarah bahkan sejak awal terciptanya sekelompok manusia di bumi, agama atau dapat juga kita sebut dengan bentuk kepercayaan sudah dikooptasi oleh sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah bangsa, ras, sampai kepentingan. Agama yang harusnya menjadi sebuah jalan hidup untuk kepentingan manusia dan perdabannya pada kenyataan tidak jarang yang melebar dari harapan awal. Tak jarang kelompok agama tertentu, bahkan sampai sekarang, menjadikan agama sebagai alasan untuk membuat sekat sosial, mengubah agama sebagai sebuah alat eksklusifitas.

Dari masa ke masa, masalah manusia tidak pernah berbeda. Tak mengherankan sebab memang alam semesta dan buminya tetap satu, tidak ada satu partikel pun yang dapat keluar dari alam semesta. Masalah hanya mengganti ‘pakaiannya’ saja, spiritualitas dan nilainya tetap yang itu-itu saja.

Masalah yang sama tentunya juga menghampiri seorang tokoh Tamil Sumatera Timur yang beberapa minggu ini telah diceritakan, D. Kumarasmy. D. Kumarasmy hidup di abad 20 yang memiliki masalah keagamaan serupa, agama juga dijadikan sebagai alasan untuk membangun sekat sosial waktu itu. Walau bukan orang pertama, D. Kumarasmy membangun citra sebagai seseorang yang mampu merobohkan paradigma bahwa agama adalah sebuah sekat sosial. Terlahir sebagai Hindu, D. Kumarasmy mampu menekuni Theosopy lalu merambah perjuangan Sidharta Gautama (Buddha).

D. Kumarasmy yang sejak kecil telah dididik dalam Hinduisme terus berjalan mencari pengetahuan makna kehidupan dan kebenaran. Perjalanan tersebut mempertemukan dirinya dengan Theosopisme. Theosopisme ini adalah sebuah kelompok yang meyakini bahwa hakikat agama tidak dibatasi oleh simbol-simbol. Theosopisme menjadikan D. Kumarasmy sebagai seorang rohaniawan yang terlepas dari sekat-sekat sosial. Terlepas dari sekat-sekat sosial yang diakibatkan pengelompokan agama mengantarkan D. Kumarasmy pada ajaran Buddha.

Jalan Buddha tidak hadir begitu saja di dalam kerohanian D. Kumarasmy. Berawal dari masuknya Jepang yang menggantikan sistem kolonialisme Belanda dengan sistem fasismenya. Agresifitas Jepang dalam membangun fasisme di Indonesia dianggap sangat keji dan begitu mengekang kebebasan penghuni Indonesia. Bukan karena Belanda lebih baik dari Jepang, tapi justru karena Belanda telah merobohkan semangat perjuangan anak-anak bangsa lalu menjadikannya sebagai anak yang manja. Sebagai catatan, kolonialisme Belanda ataupun fasisme Jepang tidak ada yang lebih baik, keduanya sama-sama buruk dan menyengsarakan bumi Nusantara.

Perang Dunia II yang melibatkan Jepang menjadikan  rakyat Indonesia sebagai ekspolitas tenaga militer. Jepang butuh pasukan tambahan untuk berkonfrontasi dengan lawan perangnya. Hal tersebut membuat segala sistem pendidikan maupun organisasi yang telah terbangun berubah menjadi sistem militeristik. Setiap organisasi berada di bawah tekanan Jepang dan tak lagi dapat menjalankan aktivitasnya, termasuk Deli Hindu Shaba yang telah dimakmurkan D. Kumarasmy. Beruntung bagi  kelompok Tamil Hindu di Sumatera Timur, program-program yang telah digagas oleh D. Kumarasmy membuat mereka dapat mempertahankan diri dari fasisme Jepang.

Tak seberuntung Tamil Hindu, Tamil Buddha yang banyak dianut oleh orang-orang yang lemah baik dalam sosial maupun ekonomi menjalani hari yang lebih berat saat Jepang masuk ke Indonesia. Tamil Buddha tidak memiliki sosok yang dapat dijadikan sebagai pemimpin saat itu. Ketiadaan pemimpin tersebut mengakibatkan ringkihnya seluruh sendi kehidupan Tamil Buddha.    

Seperti yang telah dituliskan di atas, bekal jiwa sosial tanpa batas yang diberikan Theosopisme kepada D. Kumarasmy  membuatnya begitu prihatin melihat kondisi Tamil Buddha di Sumatera Timur.  Hingga pada tahun 1944, D. Kumarasamy memutuskan untuk memimpin Tamil Buddha yang sedang sengsara. Dengan keputusan itu, tak sedikit orang-orang yang memandangnya dengan skeptis sekaligus menafsirkan bahwa dirinya telah beralih menjadi penganut agama Buddha. Mengambil petikan Pancamawa Weda IV.II, “Jalan manapun ditempuh manusia kearahku, semuanya kuterima. Dari mana mereka semua menuju jalanku,” D. Kumarasamy menganggap bahwa dirinya tidak berpindah agama. Dia menganggap bahwa Hindu dan Buddha adalah dua jalan menuju tempat yang sama.

Ia tidak mengaku sebagai seorang Buddhis dan tidak menyatakan terlepas dari Hindu. Tetap menjadi ketua kuil Sri Maryaman (Hindu), digelari Maha Pandita oleh komunitas Buddha, memasukkan nilai Hindu dan Buddha ke dalam forum kajian Theosopinya menjadi bukti bahwa yang menjadi tujuan D. Kumarasmy bukanlah agama. Agama dijadikannya sebagai jalan untuk mencapai Tuhan, tidak lebih dari itu.

Perlahan, masyarakat Tamil baik Hindu dan Buddha memahami jalan yang diambil oleh D. Kumarasamy. Baginya, jalan apapun itu selama menuju kepada tempat yang sama, satu, Tuhan adalah baik untuk dijalankan. Begitupun rahamtan lil alamiin, konsep yang dimiliki Islam juga digunakannya.

D. Kumarasmy tidak sekedar pemimpin Hindu atau Buddha di Sumatera Timur. D. Kumarasamy adalah manusia yang percaya bahwa kebaikan, kebenaran, dan nilai sosial sejati tidak dapat dimonopoli oleh kelompok agama tertentu. Baginya, perbedaan agama hanya terletak pada metode. Pengkastaan sosial serta perbedaan sosial tehadap kelompok agama yang berbeda akan melanggar norma kemanusiaan.

D. Kumarasamy adalah salah satu makhluk sosial sejati yang pernah lahir, tumbuh berkembang, dan menetap di Sumatera Timur.[rgu]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas