post image
KOMENTAR
MBC. Komunitas internasional bertanggung jawab menghadirkan demokrasi di kamp Tindouf yang terletak di Aljazair. Ketiadaan demokrasi di kamp tersebut membuat pembicaraan damai dan upaya penyelesaian sengketa Sahara Barat menjadi terhambat.

Sejak pembicaraan damai kembali dilakukan pada 2007, pemerintah Maroko telah membuka diri dengan menawarkan konsep otonomi khusus. Proposal otonomi khusus Maroko itu diakui pemimpin-pemimpin dunia sebagai proposal yang paling memadai dan jalan keluar paling visible untuk mengakhiri konflik yang terjadi sejak pertengahan 1970an itu.

Di sisi lain, kelompok separatis Polisario yang berkuasa di Tindouf sejak lama dan didukung penuh Aljazair sama sekali menutup pintu.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko atau Sahabat Maroko, Teguh Santosa, ketika berbicara dalam pertemuan Komisi Politik Khusus dan Dekolonisasi atau Komisi Empat Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Rabu siang waktu setempat (10/10).

"Ini bukan kejutan yang besar manakala kita memahami bahwa masyarakat yang tinggal di Tindouf (sekalipun) mengalami situasi tidak demokrasi, seperti ketiadaan hak dasar dan fundamental, ketiadaan kebebasan untuk bergerak, ketiadaan akses terhadap bahan makanan dan perawatan kesehatan yang memadai, dan juga ketiadaan perlindungan dari personel militer dan lingkungan militer," ujar Teguh.

Teguh merupakan salah satu petisioner yang diundang Komisi Empat PBB untuk memberikan pandangan mengenai konflik di Sahara Barat. Ini adalah kali kedua Ketua bidang Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah itu diundang Komisi Empat PBB untuk membahas masalah Sahara Barat.

Bersama beberapa wilayah lain di berbagai kawasan di dunia, seperti Kepulauan Falkland atau Malvinas, Kepulauan Cayman, Kepulauan Virgin, dan Gilbraltar serta Samoa-Amerika, Sahara Barat yang pernah dijajah Spanyol hingga 1975 dinyatakan sebagai wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri (non self-governing territories).

Dalam perjanjian di Fez tahun 1912, Prancis dan Spanyol sepakat membagi dua Maroko. Wilayah utara berada di bawah perlindungan Prancis. Sementara wilayah selatan yang kini disebut sebagai Sahara Barat dikuasai Spanyol. Prancis meninggalkan wilayah utara pada 1956. Sejak saat itu, Maroko menggalang perlawanan untuk mendapatkan kembali wilayah selatan yang masih dikuasai Spanyol.

Menyusul krisis di di Eropa pada pertengahan 1970an, Spanyol meninggalkan wilayah selatan Maroko pada 1976.

"Ketika saya mengunjungi Sahara, saya bertemu dengan mantan pengungsi yang melarikan diri dari Tindouf. Beberapa dari mereka adalah pendiri Polisario dan pemimpin Polisario. Cerita yang mereka sampaikan memberikan gambaran umum kepada saya mengenai situasi sulit yang ada di Tindouf," ujar Teguh lagi.

Belakangan ini, sambung Teguh, masyarakat internasional mendapatkan laporan mengenai intimidasi dan penyiksaan yang dialami pengungsi Tindouf. Laporan lain menyebutkan pimpinan Polisario terlibat dalam korupsi dan penggelapan bantuan kemanusiaan yang diberikan berbagai pihak internasional. Banyak dari bantuan kemanusiaan itu dijual di negara-negara di sekitar Aljazair.

"Kini juga ada laporan yang menyebutkan keterlibatan anggota Polisario dalam jaringan teroris yang ada di kawasan Sahel," sambungnya.

Muhammad Abdelaziz, pemimpin Polisario yang berkuasa di Tindouf sejak konflik ini berawal sama sekali tidak pernah tergantikan. Dua tahun lalu, mantan kepala polisi Polisario, Mustapha Salma Ould Sidi Mouloud, ditangkap karena mendukung proposal otonomi yang ditawarkan Maroko. Ia berhasil melarikan diri dan kini mengungsi di Mauritania sementara anak dan istrinya masih berada di dalam kamp. [rmol/hta]

Ganjar Pranowo Dilaporkan ke KPK, Apakah Prediksi Fahri Hamzah Terbukti?

Sebelumnya

Apple Kembali Alami Kenaikan Pendapatan, Kecuali di China Raya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa