post image
KOMENTAR
  Persidangan Walikota Medan nonaktif, Rahudman Harahap kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, Kamis (23/5/2013). Kali ini jaksa menghadirkan tiga saksi perkara dugaan korupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tapanuli Selatan (Tapsel) 2005.

Ini merupakan persidangan kedua dalam pekan ini, sebagaimana diajukan terdakwa Rahudman Harahap.

Seperti persidangan sebelumnya, keterangan saksi yang dihadirkan kian memojokkan Rahudman Harahap. Para saksi menyatakan adanya kejanggalan dalam penyalurannya TPAD tersebut.

Saksi Akhir Hasibuan, mantan Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Tapsel (2003-April 2005), pada persidangan keempat dalam perkara ini mengatakan, kejanggalan itu akibat adanya kekurangan dana pada TPAPD 2004 senilai Rp487 juta.

Kekurangan itu, jelasnya, akibat adanya kesalahan pencatatan terhadap pagu anggaran TPAPD antara tahun 2003 dan 2004. Tahun 2004 dianggarkan untuk Kepala Desa (Kades) senilai Rp70ribu, Sekdes Rp60ribu. Sementara 2003 pagu anggaran lebih tinggi, untuk Kades Rp 77.500, Sekdes Rp62.500.

Karena kesalahan pencatatan itu, ujar saksi, sehingga terjadi kekurangan anggaran di tahun 2004. Mengatasi kekurangan itu, maka diusulkan untuk ditampung di P-APBD 2004. Meski diusulkan oleh Bupati kala itu ke DPRD pada 29 November 2004, tapi tidak  dilaksanakan/disahkan.

Kemudian, lanjutnya, Kabag Pemdes (Pemerintahan Desa) meminta persetujuan pembayaran disposisi Bupati untuk terdakwa RH, agar ditampung dan dibayarkan.

Sekda (terdakwa-red) lalu disposisi ke Bagian Keuangan, agar kekurangan itu dibayarkan karena ditampung di APBD 2005, namun belum disahkan senilai Rp5,9 miliar.

Menurut saksi, dana itu sudah termasuk kekurangan tahun 2004 Rp487 juta tersebut. APBD 2005 itu juga tak hanya TPAPD, termasuk dana untuk anggaran lainnya.

Selanjutnya diserahkan cek ke Pemegang Kas Setda Tapsel yakni Amrin Tambunan (saksi juga terpidana perkara sama namun diproses di PN Padangsidimpuan), untuk mencairkannya serta menyerahkannya ke Pemdes.

"Apakah anda tahu dana yang dicairkan sebelum ketuk palu (disahkan-red) itu diperbolehkan?" tanya SB Hutagalung, salah satu hakim Ad Hoc, kepada saksi.

Lantas saksi Akhir yang pertama kali didengarkan keterangannya di hadapan majelis hakim diketuai Sugiyanto, menjawab, hal itu tidaklah dibenarkan atau melanggar peraturan.

Saksi mengaku, harus membayarkannya karena perintah pimpinannya dan untuk kepentingan mendesak. "Tetap dicairkan karena permintaan pengguna anggaran (sekda/terdakwa-red) melalui nota dinas, sehingga didisposisi Bupati," jelasnya.

Menurut Akhir, masa ia menjabat sebagai BUD Pemkab Tapsel, hanya dua kali membayarkan dana TPAPD. Pertama 18 Desember 2004 yakni kekurangan Rp487 juta tersebut.

Pencairan kedua, 6 Januari 2005 senilai Rp1,035 miliar. Namun dalam pencairan ini tidak memakai nota dinas, tapi melalui SPP (surat perintah pembayaran), SKO (surat ketetapan otorisasi) dan SPMU (surat perintah membayar uang).

Ditanya JPU, kenapa pembayaran dana pertama dan kedua prosesnya berbeda. Saksi menjawab, karena kekuarangan dana 2004 itu tidak dibahas di P-APBD, dan karena adanya permintaan dari pengguna anggaran yakni Sekda (RH) dan Bupati.

Saat ditanya JPU, arti pernyataan saksi tentang penggunaan anggaran mendesak. Saksi menjawab, ada kepentingan rutin sehingga harus dikeluarkan dananya.

Khusus TPAPD 2004 yang katanya mendesak, tanya JPU lagi, apakah mendesak itu karena adanya para pemdes demo ke Pemkab Tapsel menuntut pembayaran TPAPD? Namun saksi menjawab, tidak ada. "Kalau demo-demo tidak ada pak", ujarnya. [ded]

Inovasi Pemutus Rantai Penularan Tuberculosis Paru Melalui Wadah Berisi Lisol Terintergrasi Startegi Derectly Observed Treatment Shourtcourse (DOTS)

Sebelumnya

Cegah Stunting Melalui Pemberdayaan Masyarakat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Kesehatan