post image
KOMENTAR
Hampir sepuluh tahun Pekerja Rumah Tangga (PRT) memperjuangkan haknya untuk mendapatkan perlindungan secara UU di DPR. RUU Perlindungan PRT sudah diajukan ke DPR sejak 2004 silam. Namun hingga kini tak kunjung dibahas.

Padahal, nasib jutaan PRT yang bekerja dalam situasi tidak layak dan hidup dalam garis kemiskinan terus menunggu pengesahan RUU PPRT tersebut. Pentingnya UU perlindungan itu, berbagai ormas yang tergabung dalam Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak DPR periode 2014-2019 untuk memasukkan RUU PRT dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk segera disahkan.

Pengesahan RUU tersebut dinilai mendesak karena masih banyak permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian hak-haknya dan kasus kekerasan.

Pantauan Jala PRT melalui pendampingan dan pemberitaan media, pada 2014 terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Sebanyak 90 persen merupakan multikasus mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia, dengan pelaku majikan dan agen penyalur. Dari seluruh kasus tersebut, 85 persen terhenti proses hukumnya di kepolisian. Hal itu dinilai tidak menimbulkan efek jera sehingga kekerasan terhadap PRT terulang.

"Selama ini PRT seringkali bekerja dalam situasi yang mengecualikan hak-haknya," kata Koordinator Jala PRT Lita Anggraini.

Lita mengatakan, banyak PRT yang tidak mendapatkan upah layak. Dia mencontohkan, seorang PRT di Jakarta yang sudah bekerja selama tujuh tahun masih menerima gaji Rp700 ribu dan tidak mendapatkan libur karena selama ini tinggal di rumah majikan. Selain itu, PRT juga rentan terhadap kekerasan. Masih di Jakarta, terdapat kejadian PRT dipukuli dan diperintah majikan untuk menjilat susu yang tumpah ke lantai.

"Namun, kasus-kasus itu seringkali dihentikan oleh kepolisian atau ditolak oleh pengadilan. Karena itu, kami mendesak RUU PPRT disahkan setelah dua periode seolah sengaja diabaikan oleh DPR," tuturnya.

Sementara itu, pengacara publik dari LBH Jakarta Pratiwi Febry mengatakan pengesahan RUU PPRT akan banyak membawa perubahan, termasuk dalam menciptakan kemandirian anak dalam keluarga.

"Selama ini, PRT sering harus membantu anak menyiapkan baju seragam dan sepatu sekolah anak hingga menyusun buku-buku pelajarannya. Adanya UU PPRT akan bisa mendorong kemandirian anak," katanya.

Karena masih banyak permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian hak-haknya dan kasus kekerasan, maka Jala PRT dan LBH Jakarta menilai pengesahan RUU PPRT adalah sangat penting. Hak lain yang selama tidak diperoleh PRT adalah jaminan sosial ketenagakerjaan. Karena tidak diakui sebagai pekerja maka selama ini PRT tidak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan.

"Hak PRT untuk berkomunikasi dan berorganisasi juga selama ini tidak pernah diberikan. Masih banyak majikan yang melarang PRT untuk berorganisasi," tuturnya.

Hak lain yang selama ini seringkali diabaikan adalah hak PRT atas keamanan dan keselamatan kerja. Terjadi beberapa kasus PRT yang bekerja di apartemen dikunci di dalam oleh majikan ketika pergi. Sementara itu, Pratiwi Febry menilai, anggota DPR di Komisi IX dan Badan Legislasi banyak yang tidak profesional dalam membahas RUU PPRT sehingga tak kunjung disahkan menjadi UU.

"Mereka tidak menempatkan diri sebagai anggota DPR, tetapi majikan sehingga mereka berpikir RUU itu bisa berdampak kepada mereka untuk harus memberikan upah yang lebih besar," kata Pratiwi.

Hambatan lain dalam persetujuan bagi pengesahan RUU PPRT di DPR adalah adanya anggapan bahwa hubungan kerja antara majikan dengan PRT yang bersifat kekeluargaan. RUU PPRT dikhawatirkan bisa merusak kekeluargaan yang menjadi ciri Indonesia.

"Itu semua harus diubah. PRT harus diakui sebagai pekerja sehingga hak-haknya diberikan. Jangan karena dianggap sebagai relasi keluarga, lalu PRT tidak dibayar layak," tuturnya.

Nisaa mengatakan masih banyak orang yang selama ini menganggap PRT bukan pekerjaan yang penting sehingga hak-haknya diabaikan. Paradigma kolektif yang menganggap PRT bukan pekerjaan penting tidak hanya berdampak pada PRT di Indonesia, tapi juga di luar negeri. "Karena masih ada paradigma kolektif itu, diplomasi Indonesia juga belum memprioritaskan kasus-kasus yang membelit PRT migran di luar negeri," tuturnya.

Karena itu, selain mendesak DPR untuk menyetujui pengesahkan RUU PPRT, Solidaritas Perempuan juga mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 189 tentang PRT.[rgu/rmol]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas