post image
KOMENTAR
Presiden Joko Widodo diminta untuk mencabut Peratuan Pemerintah (PP) tentang Penghimpunan Dana Perkebunan karena hanya menguntungkan perusahaan perkebunan sawit dan menyengsarakan petani.

Permintaan tersebut disampaikan Ketua Umum Indonesia CPO Watch Bartholomeus Anikus dalam keterangannya, Selasa (19/1).

Kebijakan pungutan supporting fund CPO sebesar 50 dolar AS yang diambil dari setiap 1 ton CPO yang akan diekspor, sebut Bartholomeus, hanya menguntungkan empat perusahaan perkebunan sawit terbesar di Indonesia yakni PT Wilmar, PT Smart, Salim Group dan Group AstraAgri.

Keuntungan dan akal-akalan mereka diawali dengan mengusulkan kepada pemerintah di hadapan Sofyan Djalil mengenai perlunya dibuat peraturan pungutan ekpor CPO yang bukan masuk kategori pungutan pajak dan bukan disetor ke direktorat pajak, tetapi dihimpun di Badan Layanan Umum (BLU) dimana mereka punya hak menempatkan wakilnya untuk duduk di BLU yang bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

Kemudian dana yang dihimpun dari pungutan ekpor CPO tersebut disalurkan lebih banyak untuk subsidi  produsen biodiesel dari minyak CPO, dimana keempat group bisnis tersebut yang paling besar memproduksi biodiesel dan paling besar memiliki perkebunan di Indonesia.

"Ini artinya sama saja kebijakan pungutan ekpor CPO yang sudah dibuat peraturan pemerintahnya, yaitu lewat Peraturan Pemerintah (PP) 24/2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden (Perpres) 61/2015 tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Perkebunan Kelapa Sawit berdampak pada penurunan pendapatan dan kemampuan pembayaran kredit para petani plasma sawit dan petani sawit mandiri," papar Bartholomeus.

Skenario busuk lahirnya PP Penghimpunan Dana Pperkebunan dari Ekspor CPO, kata Bartholomeus, merupakan cara perusahaan-perusahaan pemilik kebun sawit terbesar untuk menguasai kebun kebun sawit milik petani plasma dan mandiri. Sebab dengan dibebankannya pungutan ekpor CPO sebesar 50 dolar AS maka pemilik pabrik kelapa sawit akan membebankan  pada harga beli Tandan Buah Segar Sawit (TBS) yang dihasilkan sebagian dari kebun kebun milik petani .

"Dengan jatuhnya harga TBS akhirnya petani tidak bisa membayar kredit kepemilikan kebun plasma yang dipotong 30 persen setiap penjualan TBS. Akhirnya juga petani terpaksa menjual kebun sawitnya pada pemilik kebun induk, dan petani kemudian hanya menjadi buruh perkebunan dengan upah murah," tukas Bartholomeus.[hta/rmol]

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi