post image
KOMENTAR
SUDAH aku katakan, ini mungkin saja terjadi....

Masih ada juga yang membandel, mencoba mendidihkan kembali sesuatu yang seharusnya cukup diinsyafi dengan kebijaksanaan munculnya kabupaten dan kota se-Sumatera Utara. Sekarang sudah tidak ada lagi yang terlabeli sebagai feodal atau republikan, yang ada hanya anak-anak bangsa yang hidup di bawah semboyan bhineka tunggal ika.

Sudah tak ada pula kolonial, tak ada yang mengadu domba....

Lantas mengapa orang-orang tua mulai bernari dan berpuisi di atas kepingan versi sejarahnya sendiri, yang mengatakan bahwa kaum mereka yang benar.

Bagaimana jika kaum satunya melakukan hal yang sama?

Tidak ada yang bisa disalahkan dan tidak ada yang bisa dibenarkan dari kedua pihak. Sebab tanpa devide et impera si kolonial Belanda yang terkenal itu,  perdebatan antara kaum bangsawan yang terlabel sebagai feodal dan kaum republikan  yang terlabel sebagai fork front pasti selesai di meja. Tanpa provokasi kolonial Belanda, sesama anak bangsa, seras dan seagama akan meng-enggani terjadinya pertumpahan darah.

Melihat peta situasi Sumatera Timur 1946 yang akhirnya memberhasilkan revolusi sosial, kaum  republikan pasti memiliki jumlah yang lebih mayor dibandingkan kaum bangsawan. Indonesia sudah kian me-republik dan meninggalkan oligarki. Oligarki hanya menyisakan masyarakat yang bergaris darah biru sebagai tatanan kelompoknya. Berbeda dengan masyarakat yang merepublik, tersebar diantara tatanan masyarakat yang mengaku nasionalis, sosialis, agamis, bahkan komunis. Setidaknya ada empat berbanding satu.

Tidak akan cukup kekuatan mental si satu melawan si empat jika tidak ada yang terus-menerus Walaupun mayoritas tidak selalu menegaskan sebuah kebenaran, kaum bangsawan yang memegang kekuasaan di pemerintahan swapraja juga tidak bisa sama sekali menegaskan kebenaran.

Sejak awal masuknya kolonial Belanda ke kawasan Sumatera Timur, kaum-kaum bangsawan yang diwakili raja-rajanya ikhlas bekerja sama dalam industri tembakau. Kemudian tidak butuh waktu yang lama untuk bangsawan-bangsawan Sumatera Timur meniru gaya hidup hedon dan feodal kolonial Belanda, tak kunjung berakhir  hingga Indonesia dinyatakan merdeka. Membuat setiap tatanan masyarakat pro republik mendapatkan kecurigaan besar atas bangsawan, curiga bahwa kaum bangsawan enggan republik berdiri.

Setelah 70 tahun berlalu, entah dari mana bahan bakarnya, etnis melayu mengobarkan semangat menggugat pelaku revolusi sosial yang menghabisi bapak-bapaknya.  Hingga katanya, kejadian tersebut akan menjadi salah satu muatan dalam kurikulum.

Sayangnya sejarah revolusi sosial Sumatera Timur 1946 yang akan diajukan menjadi muatan kurikulum hanya sekeping, tidak keseluruhan. Hanya detik-detik proses pembantaian pada 3 Maret 1946 yang akan menjadi muatan kurikulum. Ini berbahaya, akan menimbulkan kecurigaan dimana-Etnis melayu yang telah memperingati kejadian tersebut pada Maret 2016 ini diikuti dengan rentetan agitasi-agitasi. Tepat di persimpangan Mesjid Raya Al-Mashun, terdapat sebuah TV besar yang menampilkan foto-foto berdiri teguhnya bangsawan-bangsawan Sumatera Timur yang bergandeng tangan dengan kolonial Belanda bertamengkan industri tembakau. Bahkan sesekali muncul satu foto yang menunjukkan mahkota ratu dan bendera Belanda.

Tatanan masyarakat yang paham keutuhan sejarah revolusi sosial Sumatera Timur 1946 juga tidak tinggal diam. Lewat seluruh media, mulai dari media sosial hingga media diskusi berupaya menyerang balik, menyatakan bahwa revolusi sosial tersebut sudah benar.

Katakanlah dua kutub ini terus mengalami peningkatan intensitas agitasinya masing-masing, maka masyarakat Sumatera Utara (eks Sumatera Timur) akan terbelah menjadi dua. Kali ini lebih besar, bukan hanya antara kaum bangsawan dengan kaum republikan. Tapi akan menjadi pertarungan antara etnis melayu dengan tatanan masyarakat yang lebih terbuka dan menginsyafi keseluruhan Pertarungan agitasi yang berjalan terus-menerus akan sampai pada titik jenuh. Titik jenuh adalah gerbang antara pertarungan ideologi menuju pertarungan fisik.

Akhirnya, bisa saja, sangat mungkin.....

Setahun, dua tahun, atau tiga tahun yang akan datang, revolusi sosial berdarah Sumatera Timur 1946 akan terulang kembali.

Hentikan kegoblokan ini!!!!

#NikmatnyaSeranganFajar

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Serangan Fajar