post image
KOMENTAR
Kehidupan seorang manusia akan menemui sebuah makna hanya jika ia telah menjalankannya dengan sebuah proses, menciptakan diri, bukan diciptakan. Bahkan Tuhan sekali pun tertolak secara kodrat untuk menjadi pihak pencipta makna kehidupan seorang manusia.

Sekeras-kerasnya ikhtiar seorang manusia menyembunyikan rasa jenuhnya akan sebuah sistem yang melatarbelakangi kehidupannya, manusia tetaplah manusia, makhluk yang memiliki kodrat dan kesadaran untuk menerima kebenaran. Tidak ada seorang pun yang ingin tertipu atau ditipu, termasuk oleh nafsunya sendiri. Sebab itu, manusia tidak bisa lagi berbohong, kejenuhan sudah ada pada dirinya untuk melanjutkan dan menemukan makna kehidupan.
Bayangkan saja, sudah tidak ada lagi yang percaya dengan segala yang menamai diri sebagai tokoh masyarakat, pimpinan khusus di antara lautan manusia. Kedok munafik dan jahil ala konsep setan telah dihijabinya dengan wujud ras, suku, agama, budaya, hingga politik.

Kemana lagi manusia yang merasa jelata dan tak kunjung menemukan makna kehidupannya ini akan bergantung, melabuhkan segala sisa-sisa kemanusiaannya untuk hidup damai di surga bernama peradaban utopia?

Beberapa hari ini, telah ku lalui kehidupan baru sebagai manusia yang dilabeli sebagai penyampai informasi, seorang jurnalis. Disibukkan dengan sebuah agenda persepakbolaan yang terbilang besar untuk kehidupan sepak bola di kota Medan yang telah lama kehilangan ghirohnya. Ternyata benar, untuk mencapai sesuatu yang lebih dari menjadi manusia keledai  adalah dengan menanggalkan zona aman dan nyaman, dimana setiap garis nasib mudah untuk dipastikan pencapaian akhirnya. Ya, kehidupan ku sebelumnya akan menjadikan diri ini sebagai manusia keledai, selalu menyangka hidup hanya sebatas tinggi badanku.

Bicara sepak bola di era modern, hanya akan ada satu nama yang menggemakan setiap lapisan masyarakat di kota Medan, PSMS!
Carut-marut sepak terjang PSMS yang fluktuatif dari awal didirikannya hingga sekarang tidak serta-merta menjadikannya hidup. Memang benar, sesuai teori sederhana kehidupan yang dinamakan hidup adalah sesuatu yang fluktuatif, jatuh dan bangun kemudian jatuh hingga bangun lagi. Namun ada sesuatu yang lebih dari PSMS, fluktuatif yang ditunjukkannya berbeda dengan teori sederhana kehidupan. PSMS mesti benar-benar mati agar dapat hidup lagi, menentang fluktuatifitas yang syaratnya tidak boleh ada titik mati.

Dari era galatama hingga pasca reformasi, PSMS adalah sebuah klub sepak bola yang tautan prestasinya dapat menutupi titik lemahnya. Akan tetapi, dalam rentang waktu dari 2010 hingga sekarang PSMS merasakan sesuatu yang dinamakan mati, tidak ada kehidupan.

Walau begitu, masyarakat kota Medan tetap enggan melepaskan kecintaannya kepada PSMS yang telah mati dalam rentang waktu tersebut. Baik dari masyarakat yang terkonsolidasi sebagai fans fanatik hingga penikmat sepak bola biasa rela menutup mata dan membohongi diri, menyatakan PSMS masih agung di balik matinya.

Ternyata ini tidak hanya terjadi di Medan, cerita ini bukan hanya milik masyarakat Medan. Kota-kota lain dengan masing-masing klub sepak bolanya melakukan hal yang sama dalam kondisi yang sama. Memberikan kejelasan bahwa cinta mati ini bukan datang dari sebuah klub, tapi datang dari sepak bola.

Sepak bola sudah menjelma menjadi tokoh masyarakat, dapat menyatukan berbagai perbedaan. Bayangkan saja, beberapa hari meliput sebuah turnamen antar klub di bawah naungan PSMS yang dilaksanakan di stadion kebun bunga memberikan sebuah bukti nyata. Tidak peduli siapa, apa agamanya, apa rasnya, apa sukunya, masyarakat kota Medan saling merapatkan duduknya untuk menonton sebuah pertandingan sepak bola secara langsung meski yang sedang bertanding bukan PSMS.

Ada lagi cerita menarik, Jumat (11/3) saat para komunitas fans PSMS bermediasi dengan pengurus PSMS dan awak media. Sekumpulan anak muda yang  mungkin enggan masuk ke dalam perdebatan-perdebatan normatif tentang negeri ini membawa semangat dan energi yang besar dan langka. Akhirnya, didapat kesimpulan bahwa kepedulian sekumpulan anak muda ini hanya ingin memastikan sepak bola dapat dinikmati tanpa henti. Nyatanya, pada hari-hari kemarin hanya dengan menonton sepak bola sambari mensuarakan nyanyian dan alat-alat musiklah yang dapat memberikan mereka makna kehidupan.

Keliru jika dikatakan aktivitas mereka tidak produktif, justru dengan tidak menggunakan sistem organisasi yang ketat mereka dapat mengorganisasikan setiap perbedaan untuk menuju pada sebuah semangat.

Menariknya, apa yang terjadi dengan sepak bola ini justru menjadi sebuah instrumen untuk menyatukan pribumi-pribumi. Seperti yang sudah dikatakan, ada semangat dan energi langka yang menyatukannya.

Kita bukan sedang berada pada era menuju negara maju, kita sedang berada pada era lucu dan menuju negara konyol. Bayangkan, sesuatu yang minor, sepak bola, telah melewati pencapaian pribumi dalam mencapai makna kehidupan. Pribumi tidak pernah sadar dan mencontoh semangat dan energi pemersatu yang ada di sepak bola. Hingga kini, pribumi tidak dapat memiliki wujud pemersatu. Konsekuensinya besar, perpecahan pribumi akan mengikis kesadaran bahwa tanah yang selalu mereka tapaki bukan untuk dijaga, tidak ada kesadaran untuk mempertahankan kemerdekaan atas tanahnya. Kondisi ini terbukti  telah menjadi celah masuknya penjajah pada era kolonialisme.

Maka, bukan sebuah kata yang sederhana dan tidak bernilai ketika para fans menyebutkan bahwa sepak bola adalah agama kedua mereka. Seperti yang kita pahami bersama, ketika kita mencari wujud kedua dari hal apapun dalam kehidupan, kita belum merasa terpuaskan dengan yang pertama. Jadi, sepak bola telah menjelma menjadi tokoh masyarakat yang dapat mengalahkan tokoh suku, ras, agama dan politik.

Bagaimana jika semangat dan energi ini terbentang untuk seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat!

Bayangkan jika sekumpulan anak muda ini turut bergabung dengan anak-anak muda yang menguasai setiap konsentrasi bidang kehidupan!

Hasilnya....

Dunia akan seperti sebuah stadion, para manusia akan menjadi para penonton yang saling merapatkan duduknya, dan pertandingan adalah sebuah pedoman untuk menuju peradaban sempurna (utopia), serta segala aktivitas pada saat berjalannya pertandingan adalah peradaban sempurna tersebut.

Semangat dan energi langka yang positif ini akan menjadi sesuatu yang bernilai tinggi dan siapapun tidak harus tersiksa mengeluarkan harga tinggi untuk mencapainya.

Sangat mungkin, semangat dan energi yang serupa dapat menuntun pribumi menuju peradaban yang sempurna.

#NikmatnyaSeranganFajar

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Serangan Fajar