post image
KOMENTAR
TAN Malaka, tersohor karena pengembaraan dua puluh tahun tanpa henti di dalam dunia pemberontakan. Prinsip proletariat yang telah permanen tertanam di dalam alam bawah sadar maupun alam sadarnya membuat pemberontakan di setiap pengembaraannya tidak memandang ras, negara, hingga agama. Ketika kakinya berhenti di sebuah wilayah yang di dalamnya sedang berlangsung pemberontakan oleh kaum proletar, di situlah ia mengkolaborasikan pengetahuan tingginya akan ajaran Islam dan Komunis, kemudian mengakumulasikannya menjadi sebuah strategi pemberontakan.

Ya, Tan Malaka selain seorang Komunis juga merupakan pemeluk taat ajaran Islam. Bergelar Ibrahim dan pernah mondok di sebuah pesantren di Sumatera Barat.

Harus dipahami warna komunis pada diri Tan Malaka, sebab komunis pada masa itu telah terbagi menjadi dua, Marxisme-Stalinis atau Marxisme-Trotskiis.Perpecahan di antara penganut Marxisme disebabkan Stalin dan Lenin telah setuju menghentikan sementara proses revolusi sedangkan Trotsky memilih untuk meneruskan revolusi tanpa henti. Kemudian dipropagandakan Tan Malaka adalah seorang komunis beraliran Trotskiis sebab  ia tidak ingin melakukan perundingan terhadap Belanda di perjanjian Linggajati pada saat Agresi Militer Belanda tahun 1946. Di sisi sebaliknya, Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu berada dekat pada kabinet Sjahrir yang nasionalis-borjuis  yang setuju untuk merundingkan perjanjian Linggajati dengan Belanda. Perlu menjadi catatan bahwa sejak puluhan tahun sebelum 1946, Tan Malaka sudah tidak ada kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ada perbedaan pembelahan stigma di antara kondisi Marxisme-Stalinis dan Marxisme-Trotskiis dengan Tan Malaka dan kabinet nasionalis-borjuisnya Sjahrir.

Pembelahan antara Stalinis dan Trotskiis terjadi pada tahun-tahun awal Uni Soviet. Stalin dan Lenin menghentikan sementara revolusi untuk memperkuat kondisi internal Uni Soviet (Eropa Timur) untuk dapat melanjutkan revolusi yang lebih matang dan sukses di kemudian hari. Sedangkan Trotsky dan pengikutnya merasa revolusi tidak boleh dihentikan hingga Eropa Timur benar-benar berhasil menjadi sosialisme. Pengikut Stalin dan Lenin menganggap revolusi tanpa henti aliran Trotskiis akan membawa kehancuran untuk revolusi yang telah dijalankan.

Pada pembelahan antara Tan Malaka dan kabinet nasionalis-borjuis Sjahrir, Tan Malaka menganggap tidak dapat diterima sama sekali berunding dengan pencuri yang masuk ke dalam rumah. Sedangkan Sjahrir mendukung terjadinya perundingan Linggajati yang justru menjadikan Indonesia tidak merdeka sepenuhnya, bukan semata-mata ingin memperkuat kekuatan internal Indonesia. Sejak saat itu, Tan Malaka dihitamkan menjadi seorang Trotskiis yang dianggap membahayakan revolusi Indonesia dengan alasan tidak ingin berunding dengan Belanda di perjanjian Linggajati.

Tan Malaka yang justru menolak berunding dengan pencuri (Belanda) yang masuk ke dalam rumah rakyat Indonesia secara semena-mena diberi label sebagai seorang ekstrimis yang dapat membahayakan proses revolusi Indonesia. Kemudian ditangkaplah Tan Malaka yang saat itu bersama Soekarni oleh Polisi Tentara pada 18 Maret 1946 di Solo. Tentunya bukan suatu hal yang kebetulan di detik-detik sebelum penangkapan Tan Malaka, Persatoean Perdjoeangaan yang digagas oleh Tan Malaka terlibat dalam perang urat syaraf dengan kabinet nasionalis-borjuis Sjahrir terkait merdeka 100 % atau berunding dengan Belanda.
Siapa yang memerintahkan Polisi Tentara untuk menahan Tan Malaka cs?

Presiden Soekarno dan Jenderal Soedirman bahkan mengatakan tidak tahu-menahu atas insiden penahanan tersebut. Jenderal Soedirman yang sejak di saat kembalinya Tan Malaka telah menaruh rasa simpati terhadap semangat dan nilai perjuangan yang ditunjukkan Tan Malaka, segera mengeluarkan pernyataan resmi mengatasnamakan Markas Besar Tentara.

“Oentoek mentjegah soepaja tidak terdapat salah faham serta salah sangka berhoeboeng dengan adanja penangkapan atas dirinja beberapa pimpinan serta pembesar baroe-baroe ini (Pembesar Persatoean Perdjoeangan/ Tan Malaka cs), maka Markas Tertinggi Tentara Repoeblik Indonesia mengoemoemkan, bahwa penangkapan2 itoe sekali-kali boekan perintah dari poetjuk pimpinan Tentara”

Sebelumnya, Amir Sjarifoedin yang juga bagian dari kabinet nasionalis-borjuis telah merancang pengumuman yang berisi bahwa penahanan-penahanan tersebut terjadi setelah adanya perundingan dengan Jenderal Soedirman. Jenderal Soedirman yang merasa disalahgunakan, tidak menyetujui rancangan pengumuman yang dibuat Amir Sjarifoedin.

Soedirman yang berposisi sebagai pucak tertinggi tentara adalah seorang tokoh yang harus mengambil sikap bijaksana. Ibarat pergolakan ilalang dan angin, tanah harus bersikap netral. Soedirman berdiri di antara pemerintah dan pembesar partai-partai, kedekatan dan simpatinya terhadap Tan Malaka juga tidak mengurangi keberadaanya sebagai pucuk pimpinan tentara.

Soedirman tetap anak gunung, seorang Jenderal yang lahir dari gerilya-gerilya kaum proletar. Perundingan Linggajati di antara Belanda dan kabinet nasionalis-borjuis  tidak berlangsung secara terbuka dan membuat Soedirman selaku pucuk pimpinan Tentara merasa was-was. Pada 6 Juni 1946, rasa khawatir membawa kakinya melangkah ke Tawangmangu kemudian melaksanakan pembicaraan tentang nasib Republik bersama Abikoesno,  Soebardjo, Iwa, dan Yamin yang juga berstatus sebagai sahabat Tan Malaka pada. Mereka membicarakan nasib Tan Malaka cs yang masih ditahan tanpa alasan yang tidak jelas. Pembicaraan juga mengarah pada keharusan kabinet Sjahrir untuk mundur karena pro dengan perjanjian Linggajati.

Akhirnya, Soedirman pun berjanji untuk berbicara kepada Presiden Soekarno tentang penyelesaian masalah penahanan tanpa alasan yang jelas terhadap Tan Malaka cs.

Soedirman, Tan Malaka, Soebardjo, Iwa, Yamin, dan Abikoesno adalah kelompok dengan haluan politik yang sama. Haluan politik yang berorientasi pada merdeka 100 %, mewujudkan cita-cita Undang-undang Dasar dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Kekhawatiran Soedirman terhadap kerahasiaan perundingan perjanjian Linggajati yang dilakukan oleh kabinet Sjahrir-Belanda dan rasa simpatinya terhadap cita-cita perjuangan 100 % Tan Malaka adalah sebuah referensi yang jelas untuk menggambarkan penilaian Soedirman terhadap seorang Tan Malaka. Soedirman dan Tan Malaka adalah dua orang anak bangsa yang memiliki tipe bergerilya naik-turun gunung demi merdeka 100 %.
 
#NikmatnyaSeranganFajar

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Serangan Fajar