post image
KOMENTAR
LANGIT muram. Siang suram. Pepohonan masam. Karena kini semua tampak buram, maka Saiman berniat memeriksakan matanya ke dokter ahli mata di kota B.

Mula-mula dia berpikir bahwa kondisi yang tengah dihadapinya hanyalah peristiwa situasional. Temporer dan efek daripada melihat hal-hal yang tak sepantasnya dilihat seorang santri. Atau paling tidak seseorang yang pernah mondok di pesantren. Namun setelah 40 hari Saiman mulai berpikir, bahwa kerabunan hingga mengakibatkan kebutaan mata yang diterimanya adalah sebuah bentuk hukuman dunia yang ditimpakan kepadanya.

 Untuk itulah, menurut dia, urusan dunia seperti ini harus diselesaikan secara duniawi pula: pergi ke dokter mata dan memesan sebuah alat bantu untuk menunjang dan meneruskan sisa usianya. Namun dalam kondisi seperti sekarang ini, adalah suatu hal mustahil bin mustahal baginya untuk keliaran pergi ke kota dan memesan sebuah kacamata.

Lelaki itu masih meringkuk di ujung dipannya. Dipandanginya dinding-dinding ruangan yang kian hari kian kelam.  Sambil berharap penglihatannya kembali seperti semula, lelaki itu terus merapalkan ayat-ayat suci yang dihapalnya. Benarlah, sejak penglihatannya memburuk, Saiman praktis tak bisa membaca Al-Quran lagi. Padahal melantunkan firman Tuhan itu adalah kebiasaan yang digemarinya.

Pintu kamar diketuk. Saiman gelagapan. Dirabanya tepi dipan. Dipasangnya telinga tajam-tajam.

"Siapa?" tanyanya pelan
"Aku..." balas orang itu
Sejenak Saiman mencoba ingat cengkok dan dialeg orang yang berada di balik pintu.
"Karto, kau kah itu?"

Yang ditanya membalas dengan berdehem  kencang. Saiman bangkit dan merayapi dinding untuk tiba di pintu.

"Alhamdulillah, kau datang juga," ujarnya
"Bagaimana, kau siap berangkat ke kota?" tanya Karto sambil menerabas masuk dan menutup pintu.
"Aku tak tahu,"

Karto senyap sesaat.  Siang bertambah kasat. Saiman masih berdiri mematung di ambang pintu yang tertutup rapat.

"Kau harus bisa melihat Saiman," bisik Karto perlahan.
"Waullahualam bishawab," Saiman menjawab.
"Penglihatanmu itu sekarang dibutuhkan banyak orang. Kau harus bisa buktikan. Karena orang-orang membutuhkan pembuktian."
"Aku semakin takut, Karto. Takut pada kemurkaan Tuhan,"
"Takutmu ini lah yang Tuhan murkai. Ingatkah kau, pesan Kyai?"

Saiman menggeser diamnya. Matanya membelalak seolah dia tengah melihat sesuatu yang jelas di tengah keburaman keadaan, di dalam keterbatasan kesaksian.

Malam itu, sekelompok orang berjas hujan telah memaksa masuk ke halaman pesantren. Mereka mencari Amat Gaboh, buronan negara nomor wahid yang ditengarai bersemayam di sana dalam kisaran waktu beberapa lama.

"Gaboh! Kami inginkan Gaboh!" seru seseorang yang mengenakan helm baja.
Kemudian para santri dibariskan di halaman. Tak terkecuali seorang pun. Bahkan Kyai Mustafa yang sedang berzikir di ruangannya pun diseret paksa dan dilemparkan ke tanah seperti gandul busuk.
"Gaboh! Kami inginkan Gaboh!" Teriak orang berjas hujan lagi. Namun seruan itu dijawab oleh para santri dengan takbir dan perlawanan fisik segenap tenaga.  

-Dan di langit hujan bertambah deras. Dan senjata pun berbicara membalas.-

"Waullahi, aku tak mau melihat lagi!" Teriak Saiman sambil menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Ditahannya isaknya. Dan ajaibnya, kini dia mulai melihat sekelilingnya dengan jelas.  Dia bisa melihat rupa Karto, sahabat sepermainannya yang sudah 40 hari hari belakangan tak bisa ditatapnya dengan sempurna. Dia melihat cat kamar berwarna putih kusam. Dia melihat sprei kasurnya yang kusut masai. Dia melihat angin bertiup masuk melalui ventilasi jendela yang tertutup rapat.

Karto bangkit dan membantu Saiman berdiri. "Terkutuklah para tabiyah yang tak melaksanakan tugasnya sebagai mundzir!" serapah Karto. Saiman mengaduh pada sisa tenaga yang bersemayam di tubuh. Dengan perlahan dia bangkit dan mengangkat wajahnya. Tatapannya berkunang-kunang. Kemudian secara perlahan dan dengan pasti kembali berubah hitam. Karto menggamit lengan Saiman dan menggiringnya duduk di dipan.
Di balik sisa-sisa tetes airmatanya, Saiman melihat sekelompok bayangan yang berkelebat dari arah kegelapan...

"Anda?"
"Iya, aku Amat Gaboh"
"Tapi...."
"Aku singgah untuk menyampaikan sebuah berita,"
"Berita?" tanya Saiman yang ketika itu tengah bersiap melaksanakan salat malam. Kakinya bergetar. Dadanya kencang berdebar. Dia tengah berbicara dengan seorang pimpinan sebuah gerombolan yang konon kabarnya dibandrol miliaran rupiah.

"Mereka akan datang,"
"Mereka? Siapa?"
"Orang-orang berseragam,"
"Orang berseragam? Tapi bagaimana mungkin? Apakah Anda.."
"Kami takkan singgah apalagi bersembunyi di sini,"
"Tidak? Lantas?"
"Kabar. Dan untuk itulah kami datang."

Sejak itu Saiman dibuntuti bayangan Gaboh. Bila sepertiga malam tiba, ketakutan luar biasa kerap menyerangnya. Wajah dingin Gaboh dan kabar misteri yang dibawanya sukses menjadi teror  bagi Saiman.

Dia tak pernah mengisahkan pengalamanya itu kepada siapapun. Termasuk Kyai Mustafa. Siapa pula yang sudi berurusan dengan buronan, pikirnya. Alhasil, karena ketakukatannya itu dimamah sendiri, Saiman tak berani lagi mendatangi mesjid di pesantrennya untuk melaksanakan salat malam. Pemuda tanggung dengan janggut tipis menjuntai di dagunya itu lebih memilih sebuah tempat yang gelap di pojok tembok yang membatasi area pesantren dengan perkebunan milik warga yang ditanami gandul.
Begitu sepanjang malam, hingga berita yang disampaikan Gaboh itu benar-benar terbukti. Dan hujan menyergap tiba-tiba di dinihari buta.

     Saiman tergesa-gesa menyelesaikan munajatnya di sana. Segera dia menutup wajah mengakhiri doa dengan telapak tangan, ditariknya selembar sajadah yang dihamparkannya di atas tanah yang lembab oleh, entah embun entah tempias hujan. Saiman berlari mencari keteduhan. Namun belum lagi dia jauh beranjak sebuah teriakan menyentak memaksanya untuk tak bergerak.

"Gaboh! Kami inginkan Gaboh!" seru seseorang yang mengenakan helm baja. Seluruh santri dikumpulkan termasuk Kyia Mustafa yang berusia enampuluhdelapan. Malam itu hujan deras turun meradang. Air menggenang. Warnanya kelam. Saiman menenggelamkan dirinya dalam-dalam ke dalam lumpur dan batallah dia menjadi penghuni kubur.

Dia tak pernah bisa mengerti apa alasan Amat Gaboh singgah dan memberikannya kabar. Dia tak pernah habis pikir mengapa orang-orang berjas hujan itu datang dan memecahkan malam dengan letupan senjata yang hingar bingar. Dia hanya tahu sejak peristiwa itu, dia bersembunyi dan menyepikan diri. Dan menerima kebutaannya sebagai suatu kebenaran sejarah.

"Karto," bisik Saiman. Karto menekan pundak Saiman. "Bacakan untukku Surat At-Taubah ayat 122,"

Karto melepas tangannya dari pundak Saiman. Untuk sesaat digaruknya kepalanya sendiri. Lantas beranjak menyambar Al-Quran yang teronggok di atas kasur lapuk.

"Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman itu pergi (berperang) semuanya. Mengapa tidak berangkat dari tiap-tiap kelompok di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."


Saiman menangis mendengar Karto melantunkan firman itu. Air matanya kembali merembes keluar. Dan keajaiban kembali terjadi, ketika dia mengeluarkan air mata, Saiman dapat kembali melihat. Hanya saja, bukan Karto yang tengah membaca firman Tuhan itu yang disaksikannya, atau sprei kasurnya yang morat marit serta warna cat ruangan yang putih kusam.  

Saiman menyaksikan pesantrennya diobrak-abrik orang-orang berjas hujan. Kemudian dia menyaksikan lima pesantren lain di nusantara ini dijarah paksa manusia-manusia yang mengaku menegakkan kemanusiaan.  Dia menyaksikan pesan Tuhan diplintar plintir demi suatu kepentingan kekuasaan. Dia menyaksikan dirinya menggunakan kacamata hitam sambil duduk tenang menggenggam koran.  Dan dia menyaksikan Amat Gaboh mati di tengah hutan. Bukan oleh peluru pemerintah, tapi karena sengatan nyamuk demam berdarah.


-fin-

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca