post image
KOMENTAR
AKU berkisah tentang ini, ketika aku mulai menyadari betapa waktu telah menjadi jarak yang sulit ditebak. Sulit ku kisar, sulit ku takar. Sehingga pada akhirnya, hanya ini saja yang mampu kuingat dari sekian kali bertemu dengannya. Sekian kali mencuri pada nanar matanya yang sesekali nakal melirikku. Akhirnya, aku menyadari. Lamban laun. Meski lama dan tak sempurna ku raba.

Sebelum aku menuliskan puisi yang terakhir untuknya, lebih dulu aku menimbang-nimbang. Apakah baik sebuah sentuhan terakhir, aku wakilkan lewat sepucuk surat, setangkai puisi yang berisi kesah susahku terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul di kepalaku saban malam? Aku pertanyakan itu. Namun, hingga akhirnya, meski tak kutemui jawabannya, aku putuskan akan tetap mengiriminya sebuah puisi, yang mewakili pertanyaanku.

"Apakakah hubungan harus ditentukan oleh sebuah ruang?" Arsi bertanya. Aku berdehem, dan menghentikan lamunanku. Ku letakkan buku yang baru saja ku baca setelah lebih dulu kutandai halamannya dengan pembatas buku.

"Bagaimana?" tanyaku sambil berusaha mengingat barisan kalimat yang baru saja dilontarkannya.

"Hm, aku bertanya padamu, apakah hubungan harus ditentukan oleh sebuah ruang?" ulang Arsi., kemudian mengambil nafas dan membuangnya kencang sekali di depan wajahku.

"Iya, eh, maksudnya apa?" tanyaku lagi. Arsi membuang wajahnya sambil mengatupkan bibir tipisnya. "kamu tanya pendapatku?" tanyaku lagi. Arsi sedikit kesal dengan pertanyaanku.

"Kamu kenapa sih Bem?" ketus Arsi. "Aku bertanya."

"Iya, aku tahu. Tapi aku tak tahu maksud pertanyaanmu, Si," jawabku benar-benar tak tahu.

"Ya sudahlah, tak usah diteruskan," kata Arsi sambil merebut buku yang berada di genggamanku.

"Eh, aku belum selesai," sergahku. Tapi dia diam saja sambil bangkit dari tempat duduk. Dan dengan segera dirapihkannya tas dan bekas bungkusan kudapan. "mau kemana?" tanyaku.

"Pulang!" jawabnya sambil membalikkan badan.

Hm, dasar Arsi.. Kalau tak merajuk, bukan Arsi namanya.
Lantas ku rapikan tasku. Membersihkan tempat kami duduk tadi.

Sekarang aku akan memulai kisahku, tentang galau dan sedepa jarak antara perasaan dan isi puisiku. Mungkin akan ku awali dengan lengkingan suaranya yang nyaring sore itu, yang menyebabkan seluruh isi taman menolehkan perhatiannya ke arah tempat kami duduk, di bangku, depan kolam kecil di taman ini.

"Aku tak percaya kalau selama ini kamu menulis puisi dan menyelipkannya di antara halaman buku yang kamu baca." kata Arsi usai merebut buku yang tengah berada di tanganku.
"Eh, jangan direbut gitu dong." kataku sambil berusaha merebut kembali buku yang telah ada di genggaman Arsi. Dia mengelak. Aku menjulurkan tangan. Arsi bangkit dari tempat duduk sambil menyembunyikan tangannya ke belakang badan. Aku pun bangkit sambil terus berusaha merebut buku itu.
"Jangan, kembalikan," pintaku. Arsi membelakangiku. Sambil terus berusaha mengelak dari jangkauan tanganku, dia mulai membuka lembaran halaman buku itu.

Hingga akhirnya dia bersorak girang, "Obem, kamu genit!"
"Wah, jangan dibaca, yang itu rahasia," rengekku sambil berhenti berusaha merebut buku yang ada di genggaman Arsi.
"Hai, tak kusangka, kamu ngefans sama aku," ledek Arsi. Aku mesem saja, sambil kembali duduk dan merapatkan daguku di sandaran bangku taman tempat kami duduk

"Gokil, puisimu gokil abis" kata dia yang kemudian disambung dengan lengkingan tawa.
Aku tak tahu harus menaruh wajahku dimana. Apalagi setelah sadar bahwa orang-orang di sekeliling memperhatikan kami. Alamak. Dan aku hanya bisa menelan ludah.

"Puisi ini kubawa pulang ya?" pintanya sambil terus berusaha mengambil perhatian dariku.
"Puisinya bagus, meski agak konyol dan malu-maluin. Tapi aku suka," katanya sambil mengeluarkan secarik kertas yang kujadikan sebagai pembatas buku yang baru saja direbutnya.

Aku tak pernah tahu perasaannya, maka aku mulai mereka-reka saja. Mencoba menebak teka-teki yang selalu muncul dari balik sikap manjanya. Tapi agaknya tetap sia-sia. Tak pernah ada satu garis kesimpulan meski kami telah sekian kali bertemu dan saling memandang ke dalam mata.

Mata tak bisa bicara. Begitulah kongklusi yang kutarik setiap kali usai bertemu dia. Di sini, di taman kota, tempat biasa kami bertemu dan membunuh waktu dengan saling diam, membaca buku. Dan kupikir dia juga melakukan hal yang sama; mencoba mengukur kedalaman hatiku.

Ah, itu tak penting. Bagiku, yang penting adalah mengurai waktu dalam setiap pertemuan dengannya, lantas memilin-milin saat untuk menahan senyum, hingga bibirku kram atau membiarkan sedikit gigiku terlihat, hingga dia bisa dengan leluasa mengintip ke arah barisan gigi putihku yang mengering.

Sekarang aku akan menulis. Yeah puisi lagi. Dan nantinya akan kupakai sebagai pembatas halaman buku. Pembatas penggalan-penggalan waktu yang telah kulalui bersama dia. Mungkin nanti dia akan merebutnya lagi dari tanganku. Aku berharap begitu.

"Aku tak mengerti alasanmu menyukai 'Song For You'," kataku sambil mengalihkan pandanganku kepada dia. Arsi tersenyum, memerlihatkan seulas senyumnya yang paling manis. Meski sudah senja, tapi aku masih dapat melihat senyumnya berkat bantuan pendar-pendar lampu taman.

Lalu dia melepaskan earphone sebelah kanannya dan menyodorkannya kepadaku.

"Kamu dengar saja dulu. Baru dengar penjelasanku," ujarnya sambil merapatkan kepalanya ke arahku. Dan kami akirnya berdekatan, benar-benar berdekatan. Tak pernah kubayangkan aku bisa membaui rambutnya yang disemir merah, ataupun sekadar mendengar simphoni nafasnya yang demikian teratur anggun.

…I am a man that you can count on;
Call out my name, and I'll be there.
I'm a man you can be sure of, baby,
Its your love that takes me there…(1)

Aku tak kenal dia. Bahkan sampai senja ini, aku tetap tak mengenal dia. Kami bertemu begitu saja. Suatu masa, di sebuah genta ruang. Beberapa bulan lalu tentunya. Kala itu aku tengah duduk sendiri, di sini. Di tempat aku duduk sekarang ini. Aku masih ingat ketika itu aku tengah membaca sambil mengoret-oret selembar kertas pembatas. Lalu dia datang. Entah dari mana. Begitu saja, tiba-tiba dia sudah berdiri di hadapanku. Lantas dia minta ijin untuk duduk di sebelahku. Aku bergeser dan menyilakan dia duduk.

Arsi, kelak aku mengenalnya sebagai Arsi. Dari pertemuan itu kemudian kami masuk ke dalam percakapan-percakapan yang agaknya meruap bersama angin dan membatu bersama waktu. Katanya, dia senang berbicara denganku, dan memintaku untuk datang kembali keesokan harinya.

Yah, tentulah aku datang. Sebab cuma hal itu yang bisa kulakukan saat-saat seperti ini. Saat-saat dimana skripsiku lebih memerlukan perhatian yang lebih dariku. "Tentu saja, aku di sini esok sore," kataku. Dan kami berpisah, di antara sayup-sayup azan maghrib dan cekikikan riuh rendah orang-orang yang hadir di tempat ini.

Hari gelap. Penerang jalan menggantikan sinar mentari. Tiba-tiba aku sudah berada di kamarku. Tidak menulis tidak pula membaca buku. Tidak apa-apa. Hanya membentangkan guratan peta perjalanan dari kian-kian pertemuan kami. Aku tersenyum dan membaringkan tubuh. Coba mengingat setiap monolog yang keluar dari mulutnya, tentang taman, lampu, orang-orang di sana, judul buku, cerita, dongeng dan puisi. Dan puisi.

"Pink" kata Arsi. Aku kembali memalingkan wajahku kepadanya. Lagi-lagi perempuan ini berhasil mencuri perhatianku. "Andai kita bertemu sejak dulu," kata dia. Aku menutup buku. Mencoba menebak kalimat apa gerangan yang akan muncul dari mulut mungilnya.
"Pastinya, jarak akan dipotong demikian pendek," sambungnya.

"Maksudnya?" tanyaku. Lagi-lagi dia tersenyum. Senyum yang tak bisa kusimpulkan, bahkan sampai kapan pun kukira. "Apa itu lirik lagu? Atau puisi yang kamu karang?" tanyaku lebih lanjut. Dia tersenyum. Mentari senja tengah mengintip kami.

Aku tak ingat itu senja keberapa. Yang kuingat adalah, setelah aku bertemu dia, aku selalu menemukan kata-kata dan pertanyaan baru setiap kali langit memerah.

"Jarak yang dipotong pendek, karena waktu," Arsi meneruskan. "Mungkin saat itu, kita bisa berada di dalam ruang yang sama." katanya.
"Ah, tapi sekarang kita bersama bukan? Aku di sini, kamu di sana. Dan kita hanya dibatasi sehasta," kataku. Dia diam, mengatur nafas.
"Aku menulis puisi itu, empat tahun yang lalu," kata dia melanjutkan. Aku mengangguk.
"Sekarang aku membacanya," kataku. Dia tersenyum.
"Itu artinya, puisiku lebih dulu hadir, dari pada ingatanmu," kata dia sambil menutup buku catatan yang baru saja kubaca isinya.
"Ah, kamu bisa aja," kataku sambil kembali membuka buku ku dan melanjutkan membaca.
"Apa kamu sudi kubaca?" tanya dia lagi-lagi memotong kekhusukan ku.
"Tak penting itu," jawabku singkat sambil terus membaca.
"Kenapa? Kamu tak suka kubaca?" tanya dia lagi.
"Betul, itu tak penting. Sudahlah, kita membaca saja." jawabku.
"Baiklah, kita akan saling membaca. Kamu membaca aku, aku membaca kamu, bagaimana? Setuju?" bujuknya. Aku menutup buku, dan memandang kepadanya.
"Pertama, aku tak bisa membacamu, kedua, aku tak suka dibaca," kataku. Dia menutup bibirnya. Tak kulihat lagi dia tersenyum.
"Kok?" tanya dia dengan serius.
"Karena tak ada yang bisa dibaca dariku," jawabku dengan serius pula. Arsi diam.
"Kamu terlalu serius dengan dunia." ujarnya sambil menghela nafas dan menjauhkan duduknya dariku. "Kalau begitu mulai sekarang kamu akan pusing membaca diriku," ujarnya di penghujung senja.


                      Kalau luka adalah bisa               yang kau sebut sebagai peta,
                      Maka ajarkan aku untuk         melumurinya dengan penawar
                      Biar dapat kuhapus jejak          pada luka yang menganganga
                       Di sepanjang petamu yang      lusuh, kabur dan tak terbaca

                        Kalau luka adalah bisa yang   kau sebut sebagai air mata
                         Maka ajarkan aku untuk          menepisnya dengan pena
                        Dengan begitu tak akan lagi lekat kerak pada sisa masa
                              Di seluruh ruang yang kau sebut sebagai dunia kita

                                   Jika luka adalah  sepi       yang bisa berbisa
                                    Maka ajarkan aku untuk iklas membacanya
                                       Biar jejak yang kau tinggalkan di sana
                                                     Habis kumamah semua



Dia tak datang. Senja ini dia tak datang lagi. Seperti empat senja yang lalu, ketika terakhir ku dengar mulutnya memuntahkan berbaris-baris stanza.
"Aku pergi, jangan lupa membaca ya?" pesannya. Aku berdehem.

Senja diganti malam. Hitungan waktu terus berlaku di sepanjang pertemuan kami yang singkat. Tapi aku masih di sini, duduk sendiri di bangku taman, yang sudah empat senja sepi dari diskusi tentang puisi. Sepi dari tawanya yang diam-diam membuatku ingin sekali membaca makna kehadirannya.

Aku tidak akan berkisah senja ini, karena kisahku sudah habis. Tak ada kisah lain yang dapat ku bagikan kepada taman yang pelan-pelan beranjak sepi ini. Tak jua sepenggal ingatan tentang senja-senja sebelumnya, ketika seorang perempuan asing menemaniku duduk dan berbagi earphone yang lagunya selalu diulang-ulang, sampai aku hafal betul syairnya.

Sendiri saja. Senja ini aku sendiri saja. Tak membaca, tak juga menulis oret-oretan di kertas pembatas buku. Aku pikir, aku tak perlu mengirimkannya seuntai puisi. Tak perlu. Sebab tak ada pertanyaan yang perlu diwakilkan dari puisi brengsek yang kutulis sepanjang sore tadi.

"Hei, apakakah hubungan harus ditentukan oleh sebuah ruang?" tanyaku. Tak ada yang menjawab. Taman benar-benar sudah sepi. Sekarang aku akan melanjutkan bacaanku; Arsi.
 
Palmerah, 9 Agustus 2007


 “Song For You” yang dinyanyikan Chicago.
 

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca