post image
KOMENTAR
…Maka sambil menarik dalam asap tembakaunya, berkisahlah si Tukang Cerita mengenai kelapangan hati, dan jujur sebagai perisai diri.

Seperti yang sudah dikira sebelumnya. Dalam musyawarah di balai desa itu, Haji Sodiq sebagai penerus trah Guru Tawar keberatan untuk memberikan suaranya kepada forum yang tengah merundingkan hal penting untuk skala saat ini: nama jalan!

Dan malam ini, malam ini adalah kali keempat warga yang bermukim di Dusun Atas dan Dusun Bawah serta warga dari Seberang Datar Utara, sebuah dusun yang secara administratif tak tercatat dalam kecamatan kami, menggelar musyawarah mengganti nama jalan dengan mengabadikan nama seorang tokoh.

"Tapi tetap saja, kenapa mesti Amat Gaboh?" untuk kesekian kali ini Haji Sodiq menentang usulan beberapa tokoh masyarakat.

"Kan sudah jelas, kadar ketokohannya, dia tak hanya mengangkat senjata melawan kekuatan dan kebuasan pemerintah yang lama, tapi memang sepanjang hidupnya dia abdikan untuk rakyat banyak," ujar Wak Rustam.

"Kalau soal pengabdian kepada rakyat banyak, kakek buyut saya juga. Tapi saya tak mau ngotot untuk mengabadikan Guru Tawar menjadi nama sebuah jalan," sambar Haji Sodiq meninggi hati.

Dan malam ini kembali menjadi arena pertempuran pendapat Wak Rustam dan beberapa orang tokoh pemuda dan mahasiswa, yang tetap menyuarakan suara sejak awal, agar nama jalan utama yang menghubungkan beberapa desa di kecamatan kami diubah, menjadi nama Amat Gaboh.

"Mohon. Saya mohon, agar supaya kiranya, musyawarah kita yang dalam rangka mulia ini tidak dikotori dengan pemaksaan kehendak karena itu berarti menolak sila keempat Pancasila," ujar Wak Leman yang malam itu menjadi juru arbiter bagi dua atau tiga dan atau berapa pun pendapat yang muncul dan bersilang tegang.

"Dan Pak Haji Sodiq, mengapa menolak nama Amat Gaboh diabadikan sebagai nama jalan?" tanya pendukung Wak Rustam tendensius.

"Tidak, saya tidak menolak,"jawab Haji Sodiq.

"Ah, buktinya, empat kali pertemuan, empat kali Pak Haji bertanya itu-itu saja,"

"Lho, apakah saya salah dengan bertanya,"

"Iya, tapi kami kan telah pula menjawab dengan jawaban yang sama,"

"Justru itu, itulah yang saya tanyakan, mengapa jawaban kalian selalu sama,"

"Ah, Pak Haji Sodiq jangan berputar-putar,"

"Loh, siapa yang berputar-putar? Saya sedang bertanya,"

"Iya, tapi pertanyaannya berputar-putar,"

"Berputar-putar bagaimana? Pertanyaan saya kan cuma satu,"

"….."

Dan malam nyaris lebam, puluhan kepala keluarga dari tiga desa itu terus membincangkan perbincangan yang itu-itu saja. Mengenai kepahlawanan Amat Gaboh, keberaniannya mengusir tentara Jakarta, meneror pabrik kertas, serta kesahidan Amat Gaboh yang bukan di ujung senjata musuh tapi karena seekor nyamuk malaria. Para warga yang memberikan testimoninya tak kalah gaya dengan pembicara-pembicara, peneliti-peneliti, ahli-ahli, yang sedang mempresentasikan penemuannya di hotel-hotel berbintang.

Dan di ujung malam yang kian runcing itu, setiap kisahnya dihidupkan para warga, Amat Gaboh kian digdaya dan paripurna. Sebuah nama lain yang ketika itu hidup sejaman dengan Gaboh, Guru Tawar, semakin kecil dan tak berarti apa-apa di depan Amat Gaboh. Padahal konon kabarnya, tanah yang saat ini didiami warga di tiga dusun itu adalah milik si Tuan Kebun, Guru Tawar.

"Usul, Ketua," teriak seorang murid Haji Sodiq sambil mengacungkan jari.

"Silakan," jawab Wak Leman,

"Bagaimana bila malam ini kita buat pilihan alternatif lagi,"

"Wuuuuuuu," sontak usulan anak muda  itu disambut dengan teriakan serentak.

"Setiap pertemuan kita berani membuat pilihan, tapi ketika diminta memilih, kita tak pernah punya nyali, pulang saja kau anak muda," teriak seorang lagi. Si anak muda terdiam dan surut mundur ke belakangan. Usulnya layu sebelum berkembang.

Dan di puncak risau malam…

"Ya sudah. Warga juga lelah. Kalau tak ada yang setuju dengan nama Amat Gaboh atau Guru Tawar, biar nama jalannya kita kasih nama Siraththal Mustaqiem…" usul Saiman, seorang pengangguran yang asik dengan dunianya sendiri.

"Huakakakakakakakak"

"Hm…."

"Edan!"
"Jangan ngawur, Bung!"

"Sekalian saja titian rambut dibelah tujuh!"

"One man One Vote!"

"Sila keempat"

"Demokrasi!"

"Usir dia"

"Wak Leman otoriter!"

Musyawarah kian jauh dari mufakat, ketika sebuah gelas plastik meluncur ke arah Saiman. Dan malam pun pecah! Berkeping-keping! Berbuncah-buncah! Ke udara berkapai-kapai menjuntai bak anai-anai. Menyusuri labirin luka menyelubungi kisah-kisah yang pernah tercatat di tembok-tembok waktu, bergelung dalam pintalan manuskrip yang tak tertuliskan dengan runut. Malam kian pecah! Gelap bergelayut di setiap tempat….

***

"Suatu hari nanti anak cucumu akan tahu, bahwa kemuliaan itu bukan datang dan diberikan Jakarta. Kemuliaan itu adalah ketika kau mati dalam mempertahankan setiap jengkal tanahmu," seru Amat Gaboh dengan suara menggelegar mengampar-ampar.

"Terserah kau menganggap aku dan keputusanku ini salah. Tapi Gaboh, renungkan dan coba ingat ini, aku tak melakukannya demi diriku sendiri. Aku melakukannya demi orang banyak. Orang-orang kampung ini mesti mendapat kehidupan layak dan terbebas dari kemiskinan," balas Guru Tawar tak kalah getar.

"Dusta, kau tak melakukan kebaikan demi orang banyak. Jangan bawa-bawa mereka, karena kau hanya akan menambah luka hati pada kemiskinan yang mereka derita. Kau undang Jakarta untuk menancapkan kekuasaannya di tempat kita, dengan begitu kau anggap kau telah berjasa karena telah memberikan jalan keluar bagi warga kita yang dimiskinkan Jakarta; dengan menjadi kuli di tanah sendiri?" sengit Gaboh.

"Kalau itu takdir, serahkan pada Si Penulis Takdir! Aku tak pernah salah pada sejarah! Ini akan menjadi tonggak kebangkitan warga," ujar Guru Tawar berdialektika.
“Ya, bangkit katamu. Bangkit dari kemiskinan untuk berlari ke arah kebodohan. Jahiliyah, yang berarti kemiskinan abadi!”

Dan ketika malam semakin lebam, perdebatan dua tokoh itu tiba pada kesimpulan. Guru Tawar yang sedianya adalah tokoh yang dihormati karena memiliki sejarah agung pendahulunya, ahirnya menjadi musuh dan dikutuk sejarah. Sedangkan Amat Gaboh yang berasal dari lembah kemiskinan, istikomah mengangkat senjata dan melawan Jakarta, dan mati dalam keagungan sejarah.

***

Malam ini, setelah insiden gelas plastik melayang, tak ada keputusan apa-apa yang diambil dewan musyawarah kampung kami mengenai pengabadian nama jalan yang menjadi urat nadi penghubung dengan kampung-kampung lain di sekitar kami. Pendukung Haji Sodik memilih walk out dan tak mengakui keputusan apapun. Sedang pendukung Wak Rustam terus mendesak agar nama jalan segera diganti untuk mengingatkan generasi muda pada perlawanan Amat Gaboh atas kerakusan Pemodal dari Jakarta.

....Dan dengan senyum dikulum, si Tukang Cerita menutup kisahnya. Asap rokoknya mendesak keluar dari tabir bibirnya yang setengah terbuka, setengah merdeka....


Binjai, 1 Muharam 1432 Hijrah

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca