post image
KOMENTAR
Depresiasi rupiah yang terjadi saat ini berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Selain merongrong keseimbangan neraca perdagangan, bisa dipastikan bahwa penguatan nilai tukar dolar AS akan mendongkrak harga bahan pangan di pasar dalam negeri karena belasan komoditi kebutuhan pokok masih diimpor.
 
Begitu pendapat anggota Komisi III DPR yang juga wakil ketua umum Kadin Indonesia, Bambang Soesatyo, Minggu (25/8/2013) kepada Rakyat Merdeka Online.

"Saya melihat bahwa depresiasi rupiah saat ini akan menghadirkan dilema yang cukup serius bagi pemerintah," kata Bambang.

Karenanya, menurut Bambang, pemerintah harus memilih satu di antara dua opsi yang tersedia. Yakni, fokus menjaga keseimbangan neraca perdagangan, atau all out menjaga stabilitas. Sebab, neraca perdagangan kini mendapatkan tambahan faktor pengganggu.

Jika selama ini gelembung nilai impor BBM nyaris menjadi satu-satunya faktor perusak keseimbangan, maka pertumbuhan nilai impor bahan pangan kini mulai ikut merongrong neraca perdagangan. Akan tetapi, demi stabilitas nasional, ketersediaan dua kelompok komoditas strategis ini harus selalu terjaga alias tidak boleh kurang.

Bahkan, lanjut Bambang, persoalannya bukan sekadar stok yang mencukupi, tetapi juga menyangkut harga yang relatif terjangkau rakyat kebanyakan. Untuk diketahui, nilai impor bahan pangan pada tahun 2012 mencapai Rp 125 triliun.
 
"Lonjakannya relatif tinggi, karena tahun 2011 masih di kisaran  Rp 90 triliun," ujarnya.

Komoditi pangan yang diimpor ketika itu meliputi beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, daging sapi dan daging ayam, garam, singkong dan kentang.  Tahun ini, nilai impor bahan pangan pasti melonjak lagi karena krisis daging sapi. Dengan menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, harga bahan pangan impor pun otomatis naik.
 
"Kemungkinan ini tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi rakyat kebanyakan yang berpenghasilan pas-pasan," tengarainya.
 
Sedangkan untuk komoditi BBM bersubsidi, masih kata dia, kekuatan pemerintah justru kembali diuji. Kalau gangguan dari faktor BBM bersubsidi terhadap neraca perdagangan sangat serius karena kuotanya begitu cepat terlampaui, maka tidak menutup kemungkinan pemerintah akan menaikkan lagi harga BBM bersubsidi.[rmol/hta]

 

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi