post image
KOMENTAR
DEMOKRASI itu seperti wajan. Wajan itu alat memasak. Sebagai alat, wajan dipergunakan untuk mencapai tujuan memasak. Anda mau masak apa? Tumis kangkung, cumi sambal balado atau sekedar mi goreng campur telur? Silahkan saja. Lengkapi bahan dan bumbunya. Nyalakan api. Naikkan wajan dan proseslah bahan dan bumbu yang disediakan. Capailah tujuan dari memasak.

Para pendiri bangsa sudah pernah bilang,"Demokrasi politik, demokrasi ekonomi". Artinya, keperuntukan proses politik dan ekonomi bertujuan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tujuan berbangsa dan bernegara sudah jelas : kemakmuran dan kesejahteraan warganya. Ibaratnya, masakan yang hendak kita buat itu sudah jelas. Warga makmur dan sejahtera. Caranya, olah bahan (sumber daya manusia dan alam) dan bumbu (kebijakan politik dan ekonomi) dalam  wajan (kerangka berpikir demokratis) dengan proses memasak (pasang surut kehidupan berbangsa dan negara).

Demokrasi itu seperti wajan. Wajan itu jelas bentuknya. Tidak absurd apalagi acak. Sebagai sistem mesti terukur dan objektif karena disusun secara sadar melalui perangkat hukum dan politik jelas. Dirumuskan secara riil untuk mengelola hidup yang riil pula. Diciptakan makhluk bumi untuk atasi persoalan bumi. Demokrasi semestinya membumi. Tidak melayang mengawang-awang. Konkret. Nyata dipraktikkan sehari-hari. Bukan hanya di bibir saja.

Di Yunani kuna, tempat kelahiran kata 'demokrasi' (demos dan kratos), demokrasi hanya diperuntukkan bagi warga kelas satu saja. Warga kelas satu adalah warga kota minus budak. Warga kota adalah subjek dari demokrasi. Dianggap manusia tulen. Manusia yang berkesadaran tinggi. Mengerti perimbangan antara hak dan kewajiban. Bisa kontrol dan tidak unjuk hasrat liar bawah sadar di ruang publik. Tahu tata aturan. Berbeda dengan para budak. Dianggap tidak beradab. Setengah liar. Belum mampu kendalikan insting buas bawah sadar. Belum utuh kemanusiaannya. Anasir kebinatangannya masih dominan. Oleh sebab itu, belum layak berdemokrasi.

Demokrasi itu seperti wajan. Wajan diperlakukan sebagai alat. Sebagaimana 'alat' pada umumnya, si pengguna harus mengetahui cara menggunakan. Menggunakan secara sadar bukan sambil mabuk atau sedang 'lupa diri'. Kalau sambil mabuk bisa bahaya akibatnya. Bukan masakan saja yang tidak jadi, si pemasak juga bisa melepuh bermandi minyak panas. Akibat mabuk lupa diri.

Orang mabuk hilang kesadaran. Banyak muncul halusinasi. Kebanyakan jadi ilusi. Kalau sudah begini, demokrasi sebagai alat sudah gagal prasyarat untuk capai tujuan sebenarnya. Alih-alih demokrasi politik-ekonomi yang ada malah demokrasi ilusi. Ilusi demokrasi.


*Praktisi simbol & meditasi

'Orang Kampus' Deadlock?

Sebelumnya

Absurditas "Kami Tidak Takut"

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel TaraTarot