post image
KOMENTAR
Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan BPJS harus segera turun tangan untuk menyelesaikan keruwetan terkait praktik pelayanan BPJS dan kode etik para dokter. IDI diminta untuk melakukan konsolidasi  demi masa depan para anggotanya yang telah jatuh mental karena menghadapi moral hazarddan fraud terkait dengan sistem jaminan kesehatan melalui BPJS ini.

"Jangan sampai keruwetan dalam pelayanan BPJS ini akan berakhir pada kesan bahwa tenaga medis Indonesia terutama dokternya tidak mampu mewujudkan bangsa Indonesia yang sehat," kata Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), AM Putut Prabantoro, dalam keterangan beberapa saat lalu (Senin, 21/3).

Dijelaskan oleh Putut Prabantoro, premi BPJS yang akan dinaikkan pada April mendatang sebaiknya ditunda dulu, sebelum persoalan mendasar yakni fraud dan moral hazard, yang terkait dengan praktik  para tenaga medis dan pelayanan kesehatan BPJS, diselesaikan. Jika kedua masalah ini tidak terselesaikan, jangan heran jika suatu hari akan terjadi mogok nasional oleh para tenaga medis Indonesia.
 
"Moral hazard terjadi jika sebuah kasus dilihat dari sudut para dokter  danfraud terjadi jika sebuah kasus dilihat dari sudut rekanan BPJS yakni puskemas, klinik atau rumah sakit," ungkapnya.

Putut memberi contoh tentang moral hazard, terjadi ketika dokter kemudian terpaksa menambahkan diagnosa agar paket jaminan kesehatan bertambah demi perhitungan untung dan rugi pihak rumah sakit. Sementara kasus fraud terjadi ketika para dokter  harus memberi rujukan ke tempat lain karena jika dilaksanakan tindakan terhadap pasien akan merugikan rumah sakit karena melebihi paket kesehatan yang ada.
 
"Kedua persoalan mendasar itu, terkait dengan fakta di lapangan penanganan pasien dapat berujung pada ancaman malpraktik. Siapa yang menanggung risiko malpraktik ini ? ya para dokter dan bukan rumah sakit," ungkap Putut.

Jika diadakan penelitian, menurut Putut Prabantoro, bisa diduga telah terjadi praktik fraud secara besar-besaran dan pasien tidak mendapat layanan yang seharusnya. Lebih parah lagi, jika paket kesehatannya kurang, sebagai jalan keluar, pasien dirayu untuk mau mondok atau dirawat supaya mendapat paket yang besar dengan obat yang paling murah. Dan itu artinya, ada pihak yang mengambil keuntungan sementara para tenaga medis atau dokter akan berhadapan dengan risiko malpraktik karena menambah-nambah diagnosa.
 
Jatuh mentalnya para tenaga medis juga terkait dengan tidak ada keterangan secara tegas besaran jasa yang akan diterima tenaga medis dalam melakukan tindakan. Besaran jasa untuk para dokter harus disesuaikan dengan klas rumah sakit. Meski diagnosa yang diberikan sama terhadap seorang pasien, namun besaran jasa yang diterima oleh para dokter berbeda karena terkait dengan klasifikasi rumah sakit atau rekanan BPJS,” ujar Putut Prabantoro.
 
Untuk menghindari kasusmoral hazard dan fraud, Putut Prabantoro menggarisbawahi, apapun paket kesehatannya, dasar layanan para dokter adalah standar pelayanan medis yang selama ini dikenal.  Sementara sistem yang berlaku untuk reimbursemen bukanlah berdasarkan pada paket jaminan kesehatan tetapi Pelayanan Berbasis Bukti Medis (PBBM) yang telah dilaksanakan.

"Bukti medis itu harus bisa dipertanggungjawabkan oleh dokter yang menangani agar secara moral dapat dipertanggungjawabkan terkait dengan ancaman malpraktik. Kalau tidak diubah segera dan diterus-teruskan, mental dokter Indonesia bisa hancur hingga titik nadir," demikian Putut.[rgu/rmol]

Inovasi Pemutus Rantai Penularan Tuberculosis Paru Melalui Wadah Berisi Lisol Terintergrasi Startegi Derectly Observed Treatment Shourtcourse (DOTS)

Sebelumnya

Cegah Stunting Melalui Pemberdayaan Masyarakat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Kesehatan